Penulis: Jisman Leko
Aktivis Pemerhati Kasus Kekerasan Seksual di Maluku Utara
BIDIKFAKTA – Setiap orang punya hak yang sama. Namun, dari hak-hak itu khususnya perempuan dan anak sebagian besar haknya di eksploitasi. Mirisnya aparat penegak hukum dan dinas terkait bahkan diam dan membisu.
Kasus kekerasan seksual di Maluku Utara terus menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun. Kondisi ini sangat memprihatinkan dan menimbulkan pertanyaan besar, di mana peran negara, khususnya aparat Kepolisian dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A). Alih-alih menurunkan angka kekerasan, kinerja kedua institusi ini justru tampak melemah dan kurang responsif terhadap kondisi darurat yang tengah terjadi.
Padahal, negara melalui konstitusi dan peraturan perundang-undangan telah menegaskan komitmen dalam perlindungan terhadap perempuan dan anak dari segala bentuk kekerasan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) secara tegas mengatur pencegahan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban kekerasan seksual. Dalam Pasal 4 ayat (2) UU TPKS disebutkan bahwa “Negara bertanggung jawab dalam pencegahan, perlindungan, dan pemulihan korban kekerasan seksual secara menyeluruh dan berkesinambungan.”
Selain itu, dalam Pasal 90 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dinyatakan bahwa aparat penegak hukum wajib memberikan perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban kekerasan seksual, termasuk dengan pendekatan yang ramah anak dan berbasis keadilan restoratif.
Salah satu faktor utama penyebab tingginya angka kekerasan seksual adalah lemahnya penegakan hukum. Banyak korban yang enggan melapor karena tidak percaya proses hukum akan berjalan adil. Ketika laporan masuk pun, seringkali prosesnya lambat, minim pendampingan, bahkan ada kasus yang menguap tanpa kejelasan. Hal ini memperlihatkan bahwa aparat kepolisian belum mampu menciptakan sistem hukum yang adil terhadap korban persis yang terjadi juga di Kepulauan Sula saat ini dan bahkan melibatkan oknum-oknum pejabat negara dan wakil rakyat.
Tidak kalah penting, Dinas P3A sebagai garda terdepan di masing-masing daerah dalam perlindungan anak dan perempuan tampak tidak menjalankan fungsinya secara maksimal. Minimnya program edukasi, kampanye pencegahan, dan pendampingan psikologis membuat korban merasa sendirian menghadapi trauma yang mendalam. Padahal, mereka seharusnya hadir secara aktif di tengah masyarakat, khususnya dalam wilayah-wilayah yang rentan terhadap kekerasan seksual.
Meningkatnya kekerasan seksual bukan semata-mata soal pelaku yang jahat, tetapi juga sistem yang lemah dan tidak mampu memberikan rasa aman kepada warga, terutama perempuan dan anak-anak. Negara, melalui aparat dan dinas terkait, memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi warga dari segala bentuk kekerasan. Ketika mereka gagal menjalankan peran tersebut, maka negara turut bertanggung jawab atas penderitaan korban.
Sudah saatnya aparat Kepolisian di Maluku Utara mereformasi cara kerja mereka dalam menangani kasus kekerasan seksual. Pendekatan yang lebih berpihak pada korban, proses hukum yang cepat, dan transparansi dalam penanganan kasus harus dijadikan prioritas. Begitu pula Dinas P3A harus hadir secara nyata di lapangan, bukan hanya di ruang-ruang rapat.
Tanpa keseriusan dari aparat dan institusi terkait, kekerasan seksual akan terus menjadi luka yang membusuk dalam tubuh masyarakat di Maluku Utara.