Merdeka di Jalan Anarkis!

Ahkam Kurniawan Aktivis/Jurnalis.

BIDIKFAKTA – Setiap percikan api di jalanan selalu dimulai dari satu hal yakni, ketidakadilan yang dibiarkan tumbuh lama. Aksi-aksi yang kemudian dicap sebagai “anarkis” kerap kali hanyalah puncak gunung es dari kemarahan kolektif yang tidak mendapat ruang untuk berbicara. Pertanyaannya bukan lagi mengapa mereka bertindak anarkis, tapi mengapa negara begitu sering membiarkannya sampai terjadi?

Kata anarkis dalam pemberitaan media sering diiringi dengan gambaran perusakan, pembakaran ban, vandalisme, bahkan kekerasan terhadap aparat. Framing ini menempatkan massa sebagai pelaku kekacauan, seolah-olah tanpa alasan jelas, mereka tiba-tiba meledak. Padahal, dalam banyak kasus, yang terjadi justru sebaliknya.

Bacaan Lainnya

Aksi anarkis seringkali merupakan reaksi, bukan aksi awal. Reaksi terhadap sistem birokrasi yang lamban terhadap janji-janji pemimpin yang tak ditepati. Terhadap aparat yang lebih cepat mengamankan investor ketimbang mendengar keluhan petani. Reaksi terhadap rasa frustrasi yang sudah lama ditahan oleh mereka yang suaranya tidak pernah masuk headline berita.

Anarkis bukanlah tujuan, tetapi bahasa dari rakyat yang putus asa. Dalam negara demokrasi, seharusnya ada banyak saluran aspirasi, dan forum lainnya. Tapi bagaimana kalau semua itu hanya formalitas? Ketika rakyat datang ke balai kota, yang menyambut hanya pagar besi dan penjagaan aparat. Ketika surat aspirasi hanya dibalas dengan kalimat normatif dan janji belaka.

Wajar jika rakyat kemudian bertanya, apakah demokrasi ini benar-benar untuk semua? Jika rakyat kecil tidak pernah didengar saat berbicara, maka mereka akan berteriak. Jika teriakan pun diabaikan, maka mereka akan menggebrak. Dan ketika gebrakan tetap tak dianggap, maka tak heran jika akhirnya mereka membakar.

Anarkisme, dalam konteks ini, adalah titik didih sosial di mana harapan berubah menjadi amarah. Ironisnya, media pun sering tergelincir dalam menyederhanakan konflik. Kata “anarkis” dijadikan stempel untuk menutup diskusi lebih dalam. Tak sedikit media lebih fokus memberitakan kerusakan daripada menyelami penyebab mengapa itu terjadi.

Lebih parah lagi, label “anarkis” sering hanya disematkan kepada rakyat biasa. Jarang kita lihat investor yang menggusur permukiman tanpa sosialisasi disebut anarkis. Jarang kita dengar pejabat yang menyalahgunakan anggaran publik disebut anarkis, meski kerusakan yang mereka timbulkan jauh lebih sistemik dan berjangka panjang.

Maka penting bagi media, termasuk kita semua, untuk belajar lebih adil dalam melihat peristiwa. Bukan sekadar siapa yang melempar batu, tapi siapa yang pertama kali membangun tembok ketidakadilan.

Setiap kali kerusuhan terjadi, solusi instan dari aparat adalah penambahan personel, gas air mata, dan penangkapan. Tapi jarang ada evaluasi menyeluruh. Kenapa rakyat sampai harus turun ke jalan dengan kemarahan sebesar itu? Siapa yang selama ini tidak bekerja dengan baik?

Pemimpin harus keluar dari balik meja. Dialog bukan hanya seremoni, tapi harus dibangun secara jujur, setara, dan berkelanjutan. Rakyat bukan ancaman, tapi mitra dalam membangun negeri. Ketika negara hadir hanya untuk menghukum, bukan mendengar, maka negara itu sendiri yang menciptakan bibit-bibit anarkisme.

Artikel ini bukan pembenaran terhadap kekerasan. Vandalisme, perusakan, dan aksi brutal tak bisa dijustifikasi. Namun, memahami mengapa itu terjadi adalah langkah awal agar kita tidak terus-terusan mengulang luka sosial yang sama.

Jika negara benar-benar hadir, rakyat tak akan pernah harus anarkis. Jika keadilan ditegakkan, jalanan akan tetap sunyi dari api. Dan jika kita, sebagai bangsa, memilih untuk mendengar lebih dulu daripada menghakimi, maka barangkali kata anarkis akan tinggal sebagai sejarah, bukan berita utama hari ini.

Penulis: Ahkam Kurniawan Buamona

Pos terkait