Marhaen dan Ketimpangan Sosial: Tangis yang Masih Terabaikan

Oleh: Jisman Leko, Aktivis GMNI Sula.

BIDIKFAKTA – Berikan kepada mereka yang berhak memiliki, itulah konsep keadilan yang sesungguhnya.

Bacaan Lainnya

Istilah Marhaen bukan sekadar warisan sejarah. Ia adalah cermin kehidupan rakyat kecil Indonesia yang sampai hari ini masih berjibaku dengan ketidakadilan sistemik, yang memaksa rakyat untuk membayar dosa para pejabat dan tengkulak.

Dalam sejarahnya, Marhaen adalah sosok petani kecil yang ditemui Ir. Soekarno, seorang yang memiliki alat produksi sendiri (sepetak tanah dan cangkul), tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Soekarno kemudian menjadikan Marhaen sebagai alat perjuangan kelas bawa yang tertindas di Indonesia. Dari sinilah lahir istilah Marhaenisme, ideologi perjuangan rakyat kecil untuk keluar dari belenggu ketimpangan sosial dan ekonomi.

Namun, pertanyaannya: setelah lebih dari tujuh dekade kemerdekaan, apakah Marhaen telah benar-benar merdeka?
Sudah barang tentu tidak, petani masi di paksa untuk terus bekerja dengan alat seadanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, belum lagi para investor asing menguasai sistem ekonomi pasar hampir 40-50%.

Ketimpangan yang Masih Menganga
Hari ini, ketimpangan sosial di Indonesia tetap menjadi luka yang terbuka. Data dari berbagai lembaga menunjukkan bahwa segelintir orang menguasai sebagian besar kekayaan nasional, sementara jutaan rakyat hidup dalam garis kemiskinan atau di ambang rawan sejahtera.

Petani semakin kehilangan lahan, karena digarap habis oleh sistem kapitalisme yang cukup membludak di negara ini, Nelayan bersaing dengan kapal industri besar. Buruh di perkotaan hidup tanpa kepastian kerja. Para pedagang kecil tergilas oleh pasar modern dan platform digital besar. Mereka inilah Marhaen modern yang hidup dalam bayang-bayang pembangunan yang katanya inklusif—tapi faktanya eksklusif.

Marhaenisme: Ideologi yang Diabaikan
Ironisnya, dalam arena politik nasional, nama Marhaen sering dikutip hanya sebagai retorika kampanye. Semangat pembebasan dan keadilan sosial yang dulu dikobarkan Soekarno perlahan direduksi menjadi sekadar slogan—tanpa pemahaman mendalam dan komitmen kebijakan yang nyata.

Pembangunan hari ini terlalu sering berpihak pada investor, bukan pada rakyat kecil. Regulasi disusun untuk melayani kepentingan modal, bukan untuk melindungi Marhaen. Akibatnya, ketimpangan bukan hanya dalam penguasaan ekonomi, tapi juga dalam akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan peluang hidup layak.

Solusi: Kembali ke Akar Keadilan Sosial

Jika kita serius ingin mengatasi ketimpangan, maka kita perlu kembali pada prinsip dasar Marhaenisme: ekonomi kerakyatan, distribusi kekayaan yang adil, dan kedaulatan rakyat atas sumber daya.

Negara harus hadir bukan sebagai fasilitator pasar bebas, tapi sebagai pelindung rakyat kecil. Ini berarti memberikan akses lahan kepada petani, subsidi dan perlindungan hukum kepada nelayan, kepastian kerja bagi buruh, dan penguatan UMKM sebagai tulang punggung ekonomi nasional.

Untuk mengakhiri tulisan singkat ini saya ingin titipkan, Mendengarkan Suara Marhaen

Marhaen hari ini bukan sekadar simbol masa lalu. Ia hadir dalam wajah petani yang terpinggirkan, buruh yang kehilangan pekerjaan, dan generasi muda yang kehilangan harapan. Ketimpangan sosial bukanlah takdir. Ia adalah hasil dari keputusan politik, yang menguntungkan kepentingan peribadi dan kelompok para penguasa sehingga hal demikian bisa diubah.

Tugas kita sebagai bangsa bukan hanya mengenang Marhaen, tetapi memperjuangkannya kembali. Sebab kemerdekaan sejati hanya bisa dirasakan jika keadilan menjadi milik semua, bukan hanya segelintir elite, dan para investor.

Kita Dilahirkan Bukan Untuk Membudaki atau menjadi budak, kita lahir dan hidup untuk merdeka dan mendapatkan keadilan yang sesungguhnya.

Pos terkait