BIDIKFAKTA – Fakta baru terungkap dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi Belanja Tak Terduga (BTT) tahun 2021 senilai Rp28 miliar di Kabupaten Kepulauan Sula. Majelis hakim meminta Jaksa Penuntut Umum (JPU) melakukan pengembangan terhadap keterangan para saksi, menyusul munculnya nama-nama baru yang disebut dalam persidangan.
Dalam sidang Senin (22/9/2025), terdakwa Muhammad Yusril, Direktur PT HAB Lautan Bangsa menyebut nama Andi Muhammad Khairul Akbar alias Puang dan Andi Maramis sebagai pengendali proyek. Hal ini memperkuat dugaan adanya aktor intelektual di balik kasus ini.
Praktisi hukum Abdulah Ismail, yang juga penasihat hukum Muhammad Bimbi, menegaskan bahwa JPU tidak boleh berhenti pada pelaku lapangan. Ia mendesak agar penegak hukum membongkar otak di balik aliran dana korupsi tersebut.
“Dalam hukum pidana, aktor intelektual memiliki tanggung jawab utama. Jika aliran dana ke rekening pribadi Puang terbukti, maka itu bukan sekadar penyimpangan, melainkan korupsi yang bisa dijerat dengan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor,” ujarnya.
Abdulah menilai kasus ini merupakan contoh korupsi yang terstruktur dan sistematis. Menurutnya, aparat penegak hukum sedang diuji keberaniannya.
“Ini bukan soal siapa yang tanda tangan atau menerima uang, tapi siapa yang merancang dan menikmati hasilnya. Jika hanya ‘kaki tangan’ yang disasar, hukum kehilangan wibawanya,” tegasnya.
Selain dugaan korupsi, Abdulah juga menyoroti adanya indikasi pemalsuan dokumen pencairan BMHP yang menyeret nama Andi Maramis. Ia menyebut pasal 263 KUHP dan pasal 391 KUHP baru cukup kuat untuk menjerat para pelaku, dengan ancaman hingga enam tahun penjara dan denda Rp2 miliar.
“Kombinasi korupsi dan pemalsuan dokumen adalah modus klasik mafia anggaran. Ini bukan kasus individu, tapi sindikat yang harus dibongkar,” jelasnya.
Lebih jauh, Abdulah menekankan bahwa dana BTT semestinya digunakan untuk kebutuhan darurat dan pelayanan kesehatan masyarakat.
“Mengorupsi dana darurat sama saja merampas hak hidup rakyat. Ini kejahatan luar biasa yang harus dihadapi dengan tindakan luar biasa pula,” katanya.
Ia juga mengingatkan, jika JPU Kejari Kepulauan Sula tidak serius menindaklanjuti perintah hakim, maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu turun tangan.
“KPK punya kewenangan mengambil alih jika penanganan di daerah tidak profesional. Publik sudah jenuh melihat aktor utama dibiarkan lolos,” bebernya.
Sebelum menutup pernyataannya Abdulah, menegaskan bahwa kasus ini menyangkut integritas penegakan hukum. “Korupsi BTT Rp28 miliar adalah tamparan keras bagi nurani bangsa. Jika JPU ragu, biarkan KPK yang membersihkan benang kusutnya,” pungkas Abdulah mengakhiri.