OLEH : Fihir Ali, Sekretaris DPD KNPI Pulau Morotai
OPINI,BidikFakta.id – Ketika harga minyak tanah subsidi jenis MITA di Morotai naik dari Rp 5.000 menjadi Rp 6.000 per liter, publik nyaris tak sempat bersuara. Keputusan yang datang dari meja kekuasaan itu meluncur cepat, melalui surat keputusan bupati, tanpa ruang partisipasi rakyat yang menjadi pengguna utama BBM subsidi. Bagi rakyat kecil pedagang asongan, nelayan tradisional, ibu rumah tangga miskin—kenaikan ini adalah pukulan yang menambah beban hidup.
Pemda Morotai seakan lupa: subsidi energi bukan derma, melainkan mandat konstitusi. Dalam Pasal 34 Ayat 2 UUD 1945 ditegaskan, negara wajib memberdayakan masyarakat lemah dan tidak mampu. Ini diperkuat dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi yang menyatakan bahwa pemerintah wajib menjamin keterjangkauan energi melalui mekanisme subsidi, khususnya bagi masyarakat miskin.
Masalahnya, dalam praktiknya, kebijakan subsidi kerap terjebak dalam jebakan pasar bebas dan pendekatan komersial. Pemda membuka “karpet merah” bagi para agen dan pengecer, seolah peredaran BBM subsidi adalah aktivitas ekonomi biasa. Logika pasar pun berlaku—dimana harga bisa naik kapan saja, selama ada payung hukum administratif.
Namun, inilah bentuk nyata dari market failure. Teori ekonomi dari Arthur Pigou menekankan bahwa pemerintah perlu turun tangan ketika mekanisme pasar gagal memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Harga yang tak lagi terjangkau, khususnya untuk komoditas esensial seperti minyak tanah, merupakan indikator kegagalan itu. Dalam konteks ini, subsidi hadir sebagai instrumen korektif, bukan semata-mata kemurahan hati negara.
Kenaikan harga MITA di Morotai bisa memicu inflasi di sektor informal: biaya produksi makanan meningkat, ongkos transportasi naik, hingga tarif jasa rumah tangga terdongkrak. Lebih jauh lagi, kebijakan ini memperlebar jurang ketimpangan. Kelompok mampu bisa beralih ke gas elpiji atau kompor listrik. Sementara yang miskin, hanya bisa memilih antara kelaparan atau utang.
Pemda Morotai tampaknya gagal memahami bahwa energi dalam bentuk apapun bukan hanya komoditas, tapi hak dasar. TAP MPR No. VII/MPR/2001 menegaskan bahwa pembangunan ekonomi harus berlandaskan keadilan sosial, termasuk di dalamnya akses energi yang merata dan terjangkau.
Lebih dari itu, langkah menaikkan HET BBM subsidi di tengah situasi ekonomi lokal yang belum pulih, menunjukkan rendahnya keberpihakan pemerintah pada kelompok rentan. Ini bukan sekadar soal harga, tetapi soal siapa yang ditinggalkan dalam proses pembangunan. Dalam ilmu ekonomi kesejahteraan (welfare economics), keputusan seperti ini menyalahi prinsip pareto optimality, karena memperburuk kondisi sebagian orang tanpa memberi manfaat berarti bagi keseluruhan masyarakat.
Kebijakan yang lahir dari ruang kekuasaan, tanpa keberpihakan dan data sosial yang memadai, hanya akan menambah daftar panjang ketidakadilan struktural di daerah. Pemda Morotai harus melihat BBM Subsidi Mita ini sebagai kewajiban moral serta konstitusional untuk menjamin kesejahteraan warganya.