Wacana Agromaritim, Dan Hegeomoni Kekuasaan

Oleh: Askun Usman

OPINI – Wacana agromaritim kembali mengemuka dalam diskursus pembangunan nasional, terutama dalam visi Indonesia sebagai poros maritim dunia. Gagasan ini menjanjikan kedaulatan pangan, revitalisasi ekonomi pesisir, dan penguatan konektivitas antar-pulau.

Bacaan Lainnya

Secara historis, sektor agromaritim telah lama menjadi tulang punggung masyarakat Indonesia. Sayangnya, kebijakan yang dihasilkan justru sering kali menguntungkan korporasi besar dan elite politik, bukan petani atau nelayan kecil. Alih-alih memberdayakan mereka, pembangunan infrastruktur maritim dan agrikultur sering berujung pada penggusuran, perampasan lahan, dan marginalisasi komunitas lokal. Seakan netral dan objektif.

Padahal, dalam praktiknya, narasi ini sering menyembunyikan kepentingan-kepentingan kapital dan oligarki yang berkelindan dengan kekuasaan. Di sinilah letak hegemoni: rakyat diajak percaya bahwa semua demi kemajuan, sementara kendali atas sumber daya semakin tersentralisasi di tangan segelintir pihak.

Program pemerintah Maluku utara tentang pengembangan sektor agromaritim kerap digaungkan sebagai solusi strategis untuk meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan, dan memperkuat ketahanan pangan masyarakat. Namun, semakin lama, wacana ini terkesan hanya menjadi narasi puisi yang penuh janji manis tanpa pijakan nyata di lapangan.

Secara teori, konsep agromaritim sangat ideal. Kabupaten Halmahera selatan, di propinsi maluku utara sebagai daera kepulauan dengan kekayaan laut dan daratan yang melimpah, memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan agromaritim yang berskala nasional. Pemerintah menjanjikan industrialisasi sektor pertanian dan kelautan, modernisasi alat produksi, hingga pembangunan infrastruktur penunjang di wilayah pesisir dan pedesaan.

Namun, faktanya tidak sedikit masyarakat yang merasa bahwa implementasi wacana ini jauh dari harapan. Di wilaya halsel, seperti ( Bacan, Obi, mandioli, batang lomang, gane, kaseruta, makeang, kayoa, dll.) nelayan masih berjuang dengan alat tangkap tradisional, harga hasil tangkapan tidak menentu, dan akses terhadap pasar masih terhambat. Petani pun menghadapi masalah serupa—mulai dari minimnya subsidi pupuk, keterbatasan irigasi, hingga kebijakan impor yang memukul harga hasil panen lokal.

Ironisnya, program-program agromaritim sering kali hanya didapatkan oleh mereka yang sesama keluarga, kerabat dekat, bahkan sebagai tim dalam satu relawan, sehingga kebijakan Ini menimbulkan pertanyaan publik bahwa, apakah ini yang di namakan keadilan sosial secara menyeluruh.? Tentu tidak, wacana tersebut hanyalah iming-iming politik semata, bukan kebijakan jangka panjang yang sungguh-sungguh ingin diwujudkan demi kesejatraan rakyat.

Kritik dan kontrol sosial terhadap hal ini sangat penting. Karena Pemerintah harus menyadari bahwa rakyat bukan sekadar objek pembangunan, melainkan subjek yang punya hak untuk melihat janji politik direalisasikan. Tanpa konsistensi kebijakan, keberpihakan pada petani dan nelayan, serta transparansi penggunaan anggaran, maka agromaritim hanya akan menjadi jargon kosong yang menguap seiring waktu pemerinta itu berkuasa.

Sudah saatnya pemerintah berhenti menjadikan agromaritim sebagai komoditas politik. Yang dibutuhkan masyarakat adalah tindakan nyata tanpa pandang bulu agar kebijakan tersebut selaras dengan kesejatraan rakyat. bukan sekadar narasi indah yang di pertontonkan.

Pos terkait