OLEH: Rohmin Ramudiyah Arifin
OPINI – Tuhan, manusia satu dan manusia lainya memiliki ikatan teologi (hambluminaulah) dan relasi sosial (hambluminannas). Itu yang kita kenal dengan prinsip keseimbangan yang tertuang dalam Al-Qur’an. (Baca Al-Qashash Ayat 77).
Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan tentu memikul peran dan tanggung jawab sebagai wakil Tuhan di bumi (khalifah fill ard). Olehnya kita hadir untuk menangkap pesan Tuhan, sekaligus mengeksekusi amanat tersebut.
Peran dan tanggung jawab itu tidak bisa lagi dinafikan, apalagi menyangkalkannya. Mengingat dalam bunyi akhir QS. Al-Araf 172 sudah sangat jelas dan padat. Dimana Tuhan telah mengambil sumpah atas janji sewaktu di rahim dan semua itu Ia lakukan agar ketika lahir manusia tidak menyangkal.
Kesemua itu merupakan amanat Tuhan sebagaimana firman-firman-Nya yang mengandung perintah dan larangan. Perintah untuk menjalankannya dan larangan untuk menjauhinya.
Kita sebagai manusia seringkali menganggap pesan itu tidak penting dan mengabaikannya hampir setiap saat tanpa menjalankan perintah-Nya atau menjauhi larangan-Nya. Meski begitu, paling tidak kita tidak mengabaikan semuanya. Paling tidak ada beberapa yang masih dijalankan.
Hal ini bukan soal janji (surga) dan ancaman (neraka), melainkan ada tanggung jawab moral yang melekat dalam diri manusia untuk ditunaikan.
Menyangkut wahyu atau pesan Tuhan, meski Al-Qur’an sering ditemukan memakai bahasa metafor yang terformulasi dalam bentuk ayat-ayat mutasyabih dan di lain sisi mengatur ayat-ayat muhkam.
Padahal ini masih pada persoalan paling dasar! Terkadang kita sadar bahwa kita tidak tahu apa-apa, ada juga yang bingung. Lebih anehnya lagi, ketidaktahuan tersebut justru di jawab oleh kemalasan bukan dengan riset atau pencarian.
Bukankah Tuhan telah berfirman: “afala taqilun, tadabarun, takafarun?”. Bukankah kita berakal? Kenapa kita tidak berfikir? Kenapa kita tidak merenung? Bukankah Rasulullah SAW sering menyatakan: “Addina huwa aqlu/Agama adalah berakal/rasional?”
Pada dasarnya sesuatu yang Tuhan tegaskan, itu memberi arti penting, sebagaimana pentingnya akal. Kalau saja akal tidak penting, lantas kenapa ia disebutkan 49 kali dalam Al-Qur’an? Kalau ia disebutkan berulang kali, Itu bertanda bahwa akal itu penting perannya untuk menanggap isi wahyu. Al-Qur’an yang menghimpun 144 surah terdiri dari ayat makkiyah dan madaniyah membutuhkan pendekatan metodologis, baik dalam tafsir berdasarkan pendekatan bil-mut’sar/riwayah atau bir-ra’yi/ijtihad terhadap isi wahyu dari ayat muhkam atau ayat mutasyabih.
Jelasnya, tergantung bagaimana bunyi ayat. Karena kedua pendekatan tafsir di atas saling membutuhkan, mengingat ada kekurangan dan kelebihan masing-masing. Sehingga keduanya sama-sama diperlukan tergantung kondisi.
Wahyu dan Revolusi Merupakan Relasi antar Pesan Tuhan dan Tugas Manusia.
Apapun pesan-Nya! Posisi manusia ialah bagaimana menangkap pesan tersebut dan mengaktualisasi amanat itu dalam kehidupan nyata.Secara teknis, manusia mengadvokasi masalah, ketika masalah ditemukan, lalu meriset ayat yang berkaitan dengan masalah dan melalui kajian mendalam, membangun konsulidasi ide dan sosialisasi gagasan, merumuskan strategi dan taktik kemudian dilanjutkan dalam bentuk aksi yang ditindaki, apapun bentuk aksinya, terakhir tentu evaluasi.
Perintah Tuhan dan Tugas Manusia Memberantas Kedzaliman.
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. Al-Imran: 104).
Dalil di atas merupakan salah satu perintah Tuhan kepada manusia, untuk menyeruh pada kebaikan dan mencegah pada kedzaliman. Mengingat, kedzaliman masih sangat general, olehnya kita perlu mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dari dzalim dan apa saja bentuk-bentuknya. Kedzaliman kata kuncinya ialah dzalim. Dzalim sendiri menurut KBBI yakni: bengis; tidak menaruh belas kasihan; tidak adil; dan kejam.
Sedangkan menurut Islam, Dzalim itu berasal dari bahasa Arab Zalim yang berarti: “meletakan sesuatu tidak pada tempatnya” atau “melampaui batas”. Dibawah ini adalah bentuk-bentuk Dzalim menurut Islam:
Zalim pada diri sendiri (contoh salah satunya berbuat dosa)
Zalim pada orang lain (contoh salah satunya merampas hak orang lain);
Zalim pada Allah SWT (contoh menyembah selain-Nya).
Merujuk pada poin kedua, contoh kedzaliman secara spesifik dalam kehidupan bernegara ialah pemerintah atau penguasa melakukan korupsi. Adapun contoh lain adalah ketika penguasa membiarkan rakyatnya banyak meninggal akibat kelaparan, menderita karena tidak punya pekerjaan, terlantar di bawah kolong jembatan atau emperan jalan, penguasa bertindak sesuka hati dan lain-lain.
Praktek dzalim semacam ini, perlu di peringatan, namun jika peringatan itu masih diabaikan, maka perlawanan dalam rangka mencegah pada keburukan, kedzaliman dan kebatilan adalah sebuah tindakan mulia menuju perubahan (revolusi).
Mengingat poin pertama di atas! Jika kita membiarkan kedzaliman penguasa pada rakyatnya terjadi, itu sama halnya kita berbuat dzalim atas diri kita sendiri karena mengabaikan pesan Tuhan atau membuat dosa sosial.
Padahal sudah ditegaskan di atas bahwa, peran manusia, apalagi mahasiswa, seharusnya bangga jika melakukan pada penguasa yang dzalim, karena itu merupakan tindakan terpuji atau mulia. Dimana manusia atau mahasiswa sadar akan tanggung jawabnya karena telah menjalankan amanat Tuhan dan mengerjakan fungsinya sebagai penyambung lidah rakyat.
Selaras dengan uraikan di atas, menurut Ali Syariati: “kemiskinan dan penderitaan itu tidak pantas di retapi. Ia harus di jawab oleh perlawanan kongkrit”. Sebab kemiskinan dan penderitaan itu merupakan ulah penguasa, bukan ulah Tuhan, karena Tuhan tidak mungkin sejahat itu!
Kemiskinan itu terjadi ketika adanya penumpukan kekayaan pada seseorang atau segelintir orang. Jika hal ini terjadi, jangan heran apabila banyak orang yang miskin dan menderita, jauh dari kata sejahtera, karena hak-hak masyarakat di sunat oleh Penguasa dzalim, mirisnya lagi ada yang tidak tersalurkan, lalu mereka (penguasa) diam, tega dan bengis. Semoga Allah SWT membalas kebiadaban penguasa yang keji, tak berhati dan berkhianat. Aamiin ya Rabb..
Barangkali itu salah satu contoh tentang perintah Tuhan yang harus dikerjakan oleh manusia dalam upaya membangun revolusi atas wahyu. Untuk format gerakan tentu dapat diskemakan, namun yang lebih utama ialah kesadaran rakyat, mereka harus sadar terlebih dahulu, kalau sampai hari ini mereka di tindas, di hisap, di bodoh dan lain sebagainya.
Itu kenapa kita tidak boleh berhenti menulis, menyebarkan pundi-pundi kesadaran dan memperbanyak misi penyadaran dalam bentuk format ide-ide cemerlang. Misal mengambil alih mimbar khutbah untuk menyerukan pesan-pesan perlawan kepada penguasa dzolim dengan skema dan pemaparan yang matang. Kita perlu membuka wawasan dan mendidik pemuda/i di desa-desa. Kita perlu membuka forum-forum literasi dan melibatkan penuh masyarakat dalam pembahasan-pembahasan perubahan.
Laksana Imam Khoeimeini yang selalu rakus panggung di mimbar-mimbar mesjid dan agenda forum-forum keagamaan. Laksana Ali Syariati tidak pernah absen dalam menebarkan doktrin-doktrin perlawanan di ruang-ruang kampus. Laksana Murtadha Muthaharri yang selalu gila menulis demi membuka cakrawala keislamanan para pembaca, bahwa Islam bukan hanya agama ritus dan ritual peribadatan individu semata, melainkan Islam sebagai ideologi pembebasan yang bermuara pada revolusi atas tirani. Pembebasan atas pembodohan, penindasan, kemiskinan, ketidaksejahteraan, ketidakadilan, penghisapan dan lain-lain.
Sampai disini, penulis sadari bahwa ada banyak sekali wahyu atau perintah Tuhan, selain memberantas kedzaliman, seperti wahyu-wahyu mengenai ekologi dan lain-lain. Namun perintah Tuhan untuk memberantas kedzaliman di poin ini, hanya menjadi salah satu gambaran dari banyaknya perintah Tuhan yang harus kita kerjakan sebagai wakil-Nya di bumi.