Aya dan Pena yang Terlupakan

Gambar Ilustrasi Google.

OPINI – Di riuh kota yang lupa pada luka, dan sunyi desa yang ditelan debu negara, ada satu pena kecil, usang, dan menolak diam dalam kelam.

Bukan pena yang digenggam kaum elok, bukan tinta emas dalam laci birokrat, tapi pena lusuh yang telah basah oleh peluh dan hitam oleh kejujuran yang tak laku dijual di meja-meja rapat.

Bacaan Lainnya

Namanya Aya, tapi di lorong-lorong sunyi yang kehilangan harapan, ia dikenal sebagai Pena Keadilan.

Di warung kopi nama Aya digumam seperti selingan lelucon, namun bagi ibu-ibu pasar dan petani yang ditipu waktu, ia lebih dari sekadar nama. Ia adalah suara yang tak bisa dibungkam, mata bagi yang lelah melihat kebohongan, dan telinga bagi jerit yang selalu diabaikan.

Tak bersetelan jas, tak bersalaman dengan kamera, tapi langkahnya menyusuri lumpur menuju dusun yang hilang dari peta. Ia menulis bukan untuk dikutip, tapi untuk mencatat luka. Luka nelayan yang pulang tanpa tangkapan, luka buruh yang digaji janji, luka anak-anak yang menunggu jembatan yang tak pernah selesai dibangun.

Jurnalisme baginya adalah jiwa, yang mencari keadilan dalam gelap, bukan kerja yang dibayar, tetapi nyawa yang ditaruh di ujung kalimat.

Berita yang ia tulis bukan sekadar kabar, tapi getar yang menghujam dada dan mengetuk nurani di kantor-kantor ber-AC serta sidang-sidang yang penuh formalitas tapi kosong dari makna.

Aya tahu, ancaman itu nyata, seperti debu yang selalu datang bersama musim, tapi ketakutan tak pernah ia pelihara. Sebab ketika wartawan memilih diam, rakyat pun akan kehilangan suara, dan sunyi akan menjadi rezim yang menghisap harapan sampai tak bersisa.

Aya adalah pengingat bahwa keberanian bisa tumbuh dari tubuh yang sederhana, menulis bukan karena untuk digaji, tetapi karena hatinya menjerit melihat keadilan yang digantung seperti bendera robek di halaman sekolah.

Biarkan ia menulis, dengan pena yang mungkin bergemetar, tapi tak pernah kehilangan arah. Biarkan ia berdiri meski sendiri, karena di belakangnya berdiri seribu suara yang tenggelam di laut sunyi media yang dibeli.

Kita butuh lebih banyak Aya, bukan hanya sebagai wartawan, tetapi sebagai lentera, penyaksi, dan penjaga nurani yang tak sudi mati dalam kompromi.

Karena jika kebenaran tak lagi ditulis, maka dunia akan dikuasai kebohongan yang ditulis dengan huruf besar, tetapi tanpa jiwa dan kebenaran-keadilan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *