BIDIKFAKTA – Pagi ini, sambil menyeruput secangkir kopi, saya terdiam memikirkan berita yang memenuhi berbagai media online tentang seorang ibu yang meninggal dunia saat melahirkan di RSUD Sanana. Kabar duka ini menimbulkan pertanyaan besar dalam hati saya dan mungkin juga di benak masyarakat lainnya: apakah rumah sakit benar-benar menjadi tempat harapan hidup, atau justru persinggahan terakhir menuju ajal?
Rumah sakit sejatinya adalah simbol harapan. Setiap orang yang datang ke sana membawa doa dan keyakinan bahwa hidup dapat diselamatkan. Namun, tidak jarang rumah sakit justru menjadi tempat di mana harapan terkubur, karena kelalaian, keterbatasan fasilitas, atau lemahnya sistem pelayanan.
Tragedi kematian seorang ibu melahirkan bukan hanya peristiwa medis semata, tetapi juga potret buram dari tantangan besar yang dihadapi sistem kesehatan kita, khususnya di daerah terpencil seperti Kabupaten Kepulauan Sula. Ini adalah alarm keras bagi pemerintah daerah, pihak rumah sakit, dan seluruh masyarakat bahwa ada persoalan yang harus segera dibenahi.
Ketika seseorang datang ke rumah sakit, ia membawa dua hal: harapan untuk hidup dan ketakutan akan kehilangan. Dalam banyak kasus, pasien dan keluarganya memilih percaya penuh pada tenaga medis. Namun, rasa percaya itu bisa runtuh seketika jika pelayanan yang diberikan tidak profesional, lamban, atau bahkan diskriminatif.
Berbagai laporan masyarakat menunjukkan bahwa RSUD Sanana kerap menjadi sorotan karena pelayanan yang lambat dan terkesan pilih kasih. Ada cerita tentang pasien yang ditangani cepat karena memiliki kedekatan dengan pihak tertentu, sementara yang lain harus menunggu hingga kondisi kritis. Jika hal seperti ini benar terjadi, maka rumah sakit telah keluar dari prinsip dasarnya: menyelamatkan nyawa tanpa pandang bulu.
Rumah sakit seharusnya menjadi tempat di mana harapan hidup dijaga sekuat tenaga, bukan tempat di mana nyawa dipertaruhkan karena kelemahan sistem.
Kasus kematian ibu melahirkan ini seharusnya tidak hanya dipandang sebagai kesalahan tenaga medis di lapangan. Ada kegagalan sistemik yang lebih dalam, yang melibatkan banyak aspek:
1. Manajemen internal rumah sakit. SOP yang jelas dalam penanganan darurat sering kali hanya ada di atas kertas. Ketika dihadapkan pada situasi nyata, koordinasi sering terhambat oleh ego sektoral dan birokrasi yang kaku.
2. Keterbatasan tenaga medis dan fasilitas. Jika rumah sakit kekurangan dokter spesialis, bidan terlatih, atau peralatan yang memadai, maka risiko kematian ibu dan bayi akan selalu tinggi.
3. Kurangnya pengawasan pemerintah daerah. Rumah sakit tidak bisa berdiri sendiri. Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab untuk memastikan ketersediaan anggaran, peningkatan kualitas SDM, dan evaluasi berkala atas pelayanan yang diberikan.
4. Ketidakadilan dalam pelayanan. Ketika pelayanan didasarkan pada status sosial atau hubungan personal, maka yang miskin dan tak berdaya akan selalu menjadi korban.
Dengan kata lain, tragedi ini bukan hanya soal “kelalaian individu”, tetapi cerminan dari lemahnya sistem kesehatan di tingkat daerah.
Direktur RSUD Sanana telah memberikan klarifikasi atas kejadian ini. Namun, klarifikasi semata tidak cukup untuk menghapus rasa duka keluarga korban dan kekecewaan masyarakat. Yang dibutuhkan adalah tindakan nyata untuk memperbaiki pelayanan, seperti:
1. Audit menyeluruh terhadap SOP rumah sakit.
2. Pelatihan berkala bagi tenaga medis agar mampu bekerja cepat dan tepat dalam situasi kritis.
3. Transparansi dalam proses pelayanan, agar masyarakat yakin tidak ada praktik diskriminatif.
4. Perencanaan anggaran kesehatan yang jelas dan berorientasi pada peningkatan fasilitas.
Jika langkah-langkah ini tidak segera diambil, maka RSUD Sanana akan terus berada di persimpangan: menjadi tempat harapan hidup atau tempat ajal menjemput.
Kopi pagi ini terasa pahit, bukan karena biji kopi yang gosong, tetapi karena kabar duka yang menyertainya. Saya membayangkan keluarga korban yang kehilangan seorang ibu dengan meninggal bayinya yang akan dirawat dan dibesarkan oleh ayahnya. Kehilangan seperti ini bukan hanya luka pribadi, tetapi luka sosial yang mencoreng wajah pelayanan kesehatan kita.
Rumah sakit seharusnya menjadi tempat di mana tenaga medis berjuang sekuat tenaga, tanpa memandang latar belakang pasien. Ketika seseorang datang dengan harapan hidup, rumah sakit berkewajiban menjaga harapan itu, bukan membiarkannya pupus karena kelalaian.
Kopi pagi hari ini mengajarkan saya bahwa rumah sakit selalu berada di persimpangan yang rapuh: antara harapan hidup dan ajal. Setiap keputusan, setiap tindakan medis, bahkan setiap detik yang terbuang, bisa menentukan di sisi mana seorang pasien akan berakhir.
Sebagai masyarakat, kita berhak menuntut pelayanan kesehatan yang adil, cepat, dan profesional. Sementara pemerintah daerah dan pihak rumah sakit harus memandang tragedi ini sebagai panggilan moral untuk memperbaiki sistem yang rusak.
Karena pada akhirnya, kita semua ingin rumah sakit menjadi simbol kehidupan—tempat di mana harapan dipulihkan, bukan tempat di mana ajal menjemput dengan sia-sia.
Penulis: Mohtar Umasugi (Akademisi)