BIDIKFAKTA – Advokat sekaligus Pakar Hukum Kesehatan dari Universitas Widya Mataram Yogyakarta, Dr. Hasrul Buamona, S.H., M.H., kembali menyoroti polemik belum dibayarkannya insentif para dokter di RSUD Sanana oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Sula.
Menurut Dr. Hasrul, insentif dokter merupakan bagian dari kepentingan publik (public interest) yang diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Dalam UU tersebut, pemerintah pusat dan daerah berkewajiban menjamin pelayanan kesehatan, termasuk pemenuhan hak-hak tenaga medis sebagai amanah konstitusi.
Ia menilai tindakan Bupati Kepulauan Sula, Fifian Adeningsi Mus, yang belum merealisasikan pembayaran insentif tersebut justru bertentangan dengan prinsip pertanggungjawaban hukum (aansprakelijheid) dan hak (aanspraak) sebagaimana diatur dalam hukum administrasi dan sistem otonomi daerah.
“Istilah aansprakelijheid itu melekat langsung pada kepala daerah, termasuk Bupati, karena menyangkut tanggung jawab atas pelaksanaan kewenangan dalam urusan pelayanan publik,” tegas Dr. Hasrul saat dihubungi wartawan, Jumat (4/7).
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa RSUD dan Puskesmas tidak hanya sekadar fasilitas fisik, melainkan sarana kepentingan umum yang harus didukung oleh ketersediaan tenaga medis serta jaminan hak-hak profesional mereka, termasuk insentif.
“Insentif dokter adalah bagian dari aanspraak, atau hak konstitusional tenaga medis. Pemberiannya merupakan kewajiban hukum negara, termasuk Gubernur, Wali Kota, dan Bupati, sebagai penyelenggara pemerintahan daerah,” ujarnya.
Dr. Hasrul memperingatkan bahwa jika persoalan ini dibiarkan, maka tidak hanya para dokter yang dirugikan, tetapi masyarakat juga ikut terdampak secara medis atau dalam istilah hukum dikenal sebagai gelaedeerde (pihak yang dirugikan).
Ia bahkan menilai masyarakat Kepulauan Sula memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Bupati, Presiden, hingga Menteri Kesehatan, sebagaimana kaidah yang pernah berlaku dalam putusan Hoge Raad di Belanda sebelum 1919, yakni pelanggaran atas hak subjektif atau kelalaian menjalankan kewajiban hukum oleh pejabat negara.
“Ini bisa dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum karena pemerintah daerah telah melanggar hak dokter dan mengabaikan kewajiban hukum yang melekat dalam berbagai regulasi, mulai dari UU, PP, Perda hingga Perbup,” tegasnya.