OLEH: Aji Umasangadji
OPINI – Kita ketahui secara bersama bahwa dengan kurung waktu dekat ini, akan terjadi musibah besar untuk masyarakat Sula, lebih spesifiknya di masyarakat mangoli. Ini bukan musibah biasa, tapi musibah luar biasa, dimana masyarakat mangoli akan merasakan apa yang dirasakan oleh masyarakat Halmahera Timur dan Halmahera Tengah. Fenomena hutan gundul, laut tercemar, dan sungai-sungai yang tercampur dengan limbah tambang akan terjadi. Sepuluh Izin Usaha Pertambangan (IUP) di pulau Mangoli yang akan beroperasi, menjadi mimpi buruk. Dinamika masyarakat juga bisa terpecah belah. Di situasi memanas seperti ini, akan terjadi perpecahan masyarakat.
Ada yang bela, ada yang lawan. Mereka membela karena kepentingan, sedangkan mereka yang lawan karena mempertahankan hak atas wilayahnya. Kepentingan-kepentingan ini tidak lari jauh dari kepentingan kapitalis. Akan timbun pertanyaan di benak kita. Apakah Mangoli akan sama dengan Halmahera? Atau Mangoli akan lebih parah dari Halmahera?. Iyaa,,, bisa saja Mangoli akan lebih parah dari Halmahera dikarenakan mangolihanya pulau kecil. Dan jika Izin usaha pertambangan tersebut tidak di cabut.
Perselingkuhan antara pemerintah dan investasi tambang akan melahirkan penindasan, diskriminasi, perampasan ruang hidup, dan lebih parahnya pembunuhan. Hal ini sudah terbukti di beberapa daerah pertambangan seperti Halmahera Timur dan HalmaheraTengah. Banyak warga yang dirampas ruang hidupnya. Bukti konkrit nya adalah masyarakat maba sangaji. Belum lagi kasus-kasus pembunuhan di Halmahera Timur yang sampai saat ini belum kita ketemukan titik akhir. Ini menjadi cerminan untuk masyarakat mangoli betapa kejamnya investasi pertambangan. Sedangkan belum di operasikan tambang, suasana masyarakat Mangoli mulai panik, dan kecemasan masyarakat mulai terasa. Mirisnya pemerintah hanya duduk diam seolah membisu dan buta. Padahal jauh sebelum itu, bupati Kepulauan Sula pernah mengagas konsep/visi misinya yaitu “Sula Bahagia” ini yang harus dipertanyakan Sula Bahagia seperti apa? Sedangkan kata bahagia jika kita sandingkan dengan perkataan Aristoteles bahwasanya bahagia itu tentang “kehidupan yang baik” atau “kemakmuran”. (eudaimonia). Konsep pemikiran ini yang harus ditanamkan dalam tatanan hidup masyarakat sula. Bukan memberikan Izin Usaha Pertambangan. Tambang tidak menopak keberlangsungan kehidupan masyarakat Sula. Melainkan merusak ekosistem alam.
Jika ditinjau dari dampak, maka tambang tidak memiliki satu pun dampak positif. Semua aktivitas tambang melahirkan dampak negatif. Dari segi ekonomi, peningkatan angka kekerasan, banyaknya kasus-kasus agraria, kerusakan ekologi dan konflik sosial. Dampak yang paling urgen adalah kerusakan ekologi. Tambang datang membabat hutan-hutan bahkan tanaman warga seperti cengke,pala, dan kelapa juga akan menjadi korban. Jika tanah yang sudah terkandung bahan kimia dari tambang, maka tanah tersebut tidak bisa digunakan untuk bertani lagi. Selain itu zat yang terkandung di dalamnya bisa menyebabkan kesehatan masyarakat, ini sudah terbukti di beberapa tempat semisalnya weda, lelilef dan sekitar area tambang IWIP. Bukan hanya itu, jika limbah yang di hasilkan dari tambang kemudian terbuang ke laut, maka spesies terumbuh karang serta ikan akan mati dan nelayan susah untuk mencari ikan.
Perlu Pemerintah ketahui sebelum adanya tambang masyarakat mangoli juga bisa hidup, ketergantungan masyarakat bukan pada tambang tapi pada kenaikan harga kopra, cengke dan pala. Sebab masyarakat mangoli sebagian besar petani dan nelayan. Sehingga hal ini bisa menopang keberlangsungan ekonomi masyarakat. Mangoli bukan lahan kosong yang mu dijadikan wilayah pertambangan. “Mangoli menolak tambang”. Jika kita biarkan tambang sampai masuk ke mangoli maka sama saja kita ingin masyarakat diusir dan dibunuh.