Perlawanan dan Harapan: Suara dari Bawah Tanah

OLEH: Barli Rano

OPINI,BidikFakta.id – Maluku Utara hari ini adalah panggung dari sebuah paradoks besar. Di satu sisi, tanahnya kaya akan nikel, emas, dan hasil laut. Namun di sisi lain, rakyatnya tetap berjuang di bawah bayang-bayang kemiskinan, eksploitasi, dan ketidakadilan. Di balik gegap gempita investasi dan pembangunan industri, tersembunyi luka sosial dan ekologis yang dalam. Tapi di tengah gelap, selalu ada bara perlawanan yang menyala. Dan dari perlawanan itu, harapan tumbuh.

(Perlawanan yang Tidak Mati)

Perlawanan di Maluku Utara tidak pernah benar-benar padam. Ia hadir dalam bentuk demonstrasi mahasiswa, gugatan warga, tulisan para jurnalis lokal yang berani, hingga aksi-aksi simbolik masyarakat adat mempertahankan tanahnya. Di Halmahera, suara-suara rakyat yang menolak tambang dan kawasan industri menjadi penanda bahwa kapitalisme ekstraktif tidak akan melenggang mulus tanpa kritik.

Meski kekuasaan dan modal bersatu dalam bentuk izin usaha pertambangan, aliansi politik, dan aparat negara, rakyat tidak diam. Di balik barikade baja dan pagar tambang, ada pemuda yang membuat dokumenter, ada ibu-ibu yang menanam di tanah yang tersisa, dan ada pemuka adat yang tetap menjaga batas tanah leluhur. Mereka sadar, ini bukan sekadar soal tanah, tapi soal keberlangsungan hidup dan martabat.

(Harapan dari Akar Rumput)

Harapan tidak selalu datang dari atas. Justru dari bawahlah harapan tumbuh paling kuat. Harapan hadir ketika masyarakat membentuk koperasi nelayan, ketika petani kembali ke sistem pertanian lokal yang ramah lingkungan, dan ketika anak muda mulai mengarsipkan sejarah perlawanan kampung mereka.

Harapan juga ada dalam solidaritas lintas komunitas. Ketika masyarakat pesisir, adat, petani, dan mahasiswa bersatu melawan ketidakadilan, di situlah kita melihat kekuatan yang mampu menandingi modal. Teknologi, media sosial, dan pengetahuan mulai menjadi senjata rakyat untuk merebut narasi yang selama ini dimonopoli oleh negara dan korporasi.

Pos terkait