Bupati, Wabup, dan DPRD – Kapan Wajah Kabupaten Kepulauan Sula Berubah?

OLEH : Mohtar Umasugi

OPINI,BidikFakta.id – Pagi ini, sambil menyeruput kopi hitam tanpa gula di beranda rumah, saya kembali bergumul dengan satu pertanyaan yang tak kunjung usai: kapan wajah Kabupaten Kepulauan Sula benar-benar berubah?

Bacaan Lainnya

Pertanyaan ini mungkin terdengar klasik. Tapi semakin hari, ia justru makin relevan. Sebab, di tengah jargon-jargon pembangunan dan rangkaian seremoni resmi yang tiap minggu menghiasi ruang publik, wajah sesungguhnya dari daerah ini tetap saja buram.

Sebagai warga, saya tak berharap banyak hal muluk. Jalanan yang layak, harga kebutuhan pokok yang terjangkau, layanan publik yang manusiawi, serta kesempatan kerja bagi anak-anak muda yang tak perlu merantau jauh—itu saja sudah cukup membuat kami merasa dihargai sebagai rakyat.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Jalan berlubang masih mendominasi. Air bersih masih menjadi kemewahan. Pendidikan dan kesehatan masih berjalan setengah hati. Sementara para petani dan nelayan—yang menopang ekonomi akar rumput—tak kunjung mendapat perlindungan dan kepastian.

Di tengah semua ini, kita bertanya: di mana peran Bupati dan Wakil Bupati? Di mana fungsi kontrol DPRD?

Sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, Bupati dan Wabup seharusnya hadir sebagai pelopor perubahan. Tapi bila kepemimpinan hanya hadir dalam bentuk seremoni, pencitraan media, dan narasi populis belaka, maka wajar jika rakyat mempertanyakan arah kepemimpinan hari ini.

Sementara DPRD, sebagai lembaga representatif rakyat, justru makin tenggelam dalam diam. Nyaris tak terdengar suara keras menolak kebijakan yang menyimpang. Fungsi kontrol anggaran dan legislasi lebih sering berhenti pada formalitas. Padahal, DPRD adalah benteng demokrasi lokal, tempat rakyat berharap ada penyeimbang kekuasaan.

Ada tiga titik krusial yang seharusnya jadi refleksi bersama:

1. Krisis Kepemimpinan Visioner. Kepemimpinan hari ini minim gagasan transformatif. Pembangunan lebih bersifat reaktif, bukan strategis. Kita butuh pemimpin yang tak hanya “menjalankan roda”, tapi mampu mengarahkan kendaraan.

2. Mandeknya Fungsi Legislasi dan Pengawasan. DPRD terlalu nyaman dengan posisi politiknya. Banyak anggota dewan lebih fokus pada penjagaan relasi politik daripada perjuangan konstituennya. Padahal legitimasi mereka datang dari suara rakyat, bukan dari kompromi kekuasaan.

3. Minimnya Partisipasi Publik yang Substansial. Masyarakat kerap dijadikan penonton pembangunan. Forum-forum partisipatif hanya bersifat seremonial. Aspirasi dari desa sering tak masuk dalam skala prioritas pembangunan daerah.

Jika wajah Kabupaten Kepulauan Sula ingin benar-benar berubah, maka perubahan itu harus dimulai dari cara berpikir dan cara bekerja para pemangku kebijakan. Jabatan bukan sekadar soal kuasa, tapi tentang tanggung jawab sejarah.

Bupati, Wabup, dan DPRD harus kembali melihat rakyat bukan sebagai angka dalam laporan, tetapi sebagai manusia yang butuh kehadiran nyata negara. Tinggalkan model kepemimpinan kosmetik. Rakyat sudah lelah dengan janji. Kini saatnya bekerja dengan keberpihakan yang konkret.

Sebagai warga, saya tidak ingin terus-menerus menulis kritik semacam ini. Saya ingin menulis tentang harapan, keberhasilan, dan kebanggaan menjadi bagian dari Sula. Tapi selama wajah daerah ini masih gelap oleh kebijakan yang tumpul, maka kopi pagi saya akan terus terasa pahit.

Pertanyaannya tinggal satu: apakah para pemegang kuasa hari ini masih mau mendengar, atau justru semakin tuli?

Pos terkait