OLEH: Harmain Rusli
Polsek Obi Halmahera Selatan Disorot karena Dugaan Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual dengan Restoratif Justice.
OPINI – Kasus kekerasan seksual sering kali menjadi ranah abu-abu dalam praktik penanganan hukum di Indonesia, termasuk di Kabupaten Halmahera Selatan. Ironisnya, seperti yang terjadi di Polsek Obi, penanganan kasus kekerasan seksual diduga diselesaikan secara damai (Restoratif Justice). Padahal, hukum telah tegas melarang penyelesaian tersebut.
Menanggapi hal tersebut Ketua Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Marhaenisme (DPC GPM) Halsel, Bung Harmain Rusli, secara tegas menolak penyelesaian damai di luar proses peradilan dalam kasus kekerasan seksual. Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Pasal 23 secara jelas menyatakan bahwa tindak pidana kekerasan seksual wajib diproses secara hukum dan tidak boleh diselesaikan melalui mediasi, kecuali pelakunya adalah anak di bawah umur sesuai ketentuan undang-undang.
“Menyelesaikan kasus kekerasan seksual lewat jalur damai bukan hanya mengabaikan hukum, tetapi juga menghilangkan hak korban atas keadilan dan perlindungan. Restoratif Justice dalam konteks ini bukan solusi, melainkan jebakan berbahaya yang berpotensi memperkuat budaya impunitas bagi pelaku,” ujar Bung Harmain.
Lebih memprihatinkan lagi, menurut Bung Harmain, terdapat dugaan keterlibatan aparat penegak hukum yang membiarkan, bahkan mendukung praktik tersebut. Hal ini merupakan pelanggaran berat terhadap kode etik profesi anggota Polri.
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri dan Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2022 tentang Pengawasan Internal, setiap anggota Polri wajib mematuhi norma dan prosedur hukum dalam penanganan perkara. Pelanggaran kode etik, termasuk penyelesaian kasus secara tidak prosedural seperti Restoratif Justice dalam kasus kekerasan seksual, dapat dikenai sanksi disiplin hingga pemberhentian tidak dengan hormat.
DPC GPM Halsel mendesak agar Propam Polres Halsel dan Polda Maluku Utara segera melakukan pemeriksaan dan menindak tegas anggota kepolisian yang diduga melanggar kode etik dalam penanganan kasus kekerasan seksual ini. “Tidak ada toleransi bagi aparat yang meremehkan kasus kekerasan seksual dan mengesampingkan keadilan bagi korban,” tegas Bung Harmain.
Dalam konteks perlindungan anak, UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 12 Tahun 2022 menegaskan bahwa persetubuhan atau pelecehan seksual terhadap anak adalah delik biasa. Artinya, kepolisian wajib memproses kasus ini tanpa menunggu adanya laporan dari korban, agar penegakan hukum berjalan aktif dan proaktif.
“Olehnya itu, kami mendesak Polres Halsel dan Polsek Obi untuk benar-benar serius menuntaskan kasus kekerasan seksual sesuai dengan ketentuan hukum demi menjaga martabat korban dan memberi efek jera kepada pelaku,” pungkas Bung Harmain.
Sudah saatnya kita hentikan ilusi damai yang menipu. Kekerasan seksual bukan persoalan biasa yang bisa ‘diobati’ dengan mediasi. Hukum harus ditegakkan, pelaku harus dihukum, dan korban harus dilindungi sepenuhnya.