Oleh: Jisman Leko CPM., C.GMC.
bidikfakta.id – OPINI // Memberikan efek jerah melalui hukuman penjara bagi pelaku pelecehan seksual adalah hal yang sangat penting, namun mencegah terjadinya pelecehan seksual oleh anak adalah pekerjaan yang sangat mulia.
Pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur merupakan kejahatan kemanusiaan yang meninggalkan luka psikologis jangka panjang dan kerap kali tidak mendapatkan perhatian yang semestinya.
Anak-anak, sebagai kelompok paling rentan, seringkali menjadi korban dari lingkungan terdekat mereka, keluarga, guru, atau orang yang mereka percayai. Ironisnya, banyak dari kasus ini tak sampai ke meja hukum karena adanya tekanan, rasa malu, atau ketidaktahuan keluarga akan jalur pelaporan.
Negara dan masyarakat harus menyadari bahwa perlindungan terhadap anak bukan hanya tanggung jawab orang tua, tetapi merupakan kewajiban kolektif. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku, penyediaan pendampingan psikologis bagi korban, serta edukasi seksualitas dan hak anak sejak dini adalah langkah-langkah konkret yang harus segera dijalankan. Lebih dari sekadar menghukum pelaku, penting juga untuk membangun sistem perlindungan yang preventif.
Tidak boleh ada ruang bagi pembiaran. Saat kita diam, kita menjadi bagian dari kekerasan itu sendiri. Maka, suara korban harus didengar, hukum harus berpihak, dan kita semua harus bersikap. Anak-anak berhak tumbuh dalam lingkungan yang aman, bukan dalam bayang-bayang ketakutan.
Data dari berbagai lembaga perlindungan anak menunjukkan tren peningkatan laporan pelecehan seksual anak dari tahun ke tahun, namun jumlah tersebut diyakini hanya “puncak gunung es.” Dalam banyak kasus, korban tidak mendapatkan keadilan karena proses hukum yang panjang, lamban, dan sering kali tidak berpihak pada korban. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menegaskan bahwa negara harus hadir secara nyata dalam penanganan kasus ini bukan hanya di atas kertas, tetapi juga dalam tindakan nyata di lapangan.
Indonesia sejatinya memiliki regulasi yang cukup kuat dalam perlindungan anak. Beberapa undang-undang yang mengatur tentang pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur antara lain:
Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak merupakan perubahan dari UU No. 23 Tahun 2002, undang-undang ini mempertegas bahwa anak memiliki hak atas perlindungan dari segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Pasal 76D menyatakan “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain begitu juga dengan pasal 76E yang menyatakan “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan perbuatan cabul. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 81 juga menekankan hal serupa bahwa setiap orang yang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan di pidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun atau denda sebesar Rp 5 miliar.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPK-S) undang-undang ini memperkuat kerangka hukum sebelumnya dengan pendekatan yang lebih holistik pada konteks melindungi korban, menghukum pelaku, dan memberikan pemulihan yang layak.
Namun meski aturan telah tersedia, implementasinya masih jauh dari harapan. Banyak aparat penegak hukum yang belum sensitif terhadap isu kekerasan seksual terhadap anak. Sering kali korban malah dipersalahkan, proses pelaporan berlarut-larut, dan bukti sulit dikumpulkan karena korban tidak segera melapor. Nah ini menunjukkan bahwa sistem kita belum berpihak secara utuh pada korban. Selain itu, stigma sosial terhadap korban juga menjadi kendala besar dalam masyarakat yang masih patriarkal, korban anak sering dianggap mencemarkan nama baik keluarga bila kasus itu diungkapkan. Ini memperburuk trauma korban dan menghambat proses penyembuhan serta keadilan.Namun, ujung tombak tetap ada pada keberpihakan hukum, negara harus menjamin proses hukum yang cepat dan adil, perlindungan identitas dan keselamatan korban sangat di perlukan.
Diakhir tulisan ini penulis yang juga merupakan mahasiswa hukum sekaligus Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI Babusalam Sula Maluku Utara ini menitipkan pesan bahwa; Pelecehan seksual anak bukan hanya persoalan hukum, melainkan juga persoalan moral dan sosial yang membutuhkan respon kolektif. Negara tidak boleh lemah, hukum tidak boleh tumpul, dan masyarakat tidak boleh diam. Setiap anak berhak atas masa kecil yang aman, bebas dari ketakutan dan kekerasan. Keadilan bagi satu anak korban adalah bentuk perlindungan bagi ribuan anak lainnya.