OLEH:Jisman Leko, CPM.,C.GMC. Presiden BEM STAI Babusalam Sula Maluku Utara.
OPINI,BidikFakta.id– Perempuan selalu menjadi simbol harapan baik dalam keluarga, masyarakat, maupun bangsa. Di tengah tantangan hidup yang terus berubah, perempuan hadir dengan kekuatan yang lembut namun tak tergoyahkan. Harapan tumbuh dari tangan mereka yang merawat, mendidik, dan mencipta, bahkan ketika dunia belum sepenuhnya memberikan ruang setara bagi suara mereka.
Dalam hal ini, teori hope dari Charles R. Snyder dapat digunakan untuk memahami peran perempuan dalam membangun harapan. Snyder (1994) mendefinisikan harapan sebagai kemampuan untuk menetapkan tujuan, merancang strategi untuk mencapainya (pathways thinking), dan memiliki motivasi untuk menggunakan strategi tersebut (agency thinking). Jika teori ini kita terapkan pada perempuan, kita melihat bahwa perempuan tidak hanya menjadi penyimpan harapan dalam keluarga dan masyarakat, tetapi juga pencipta strategi dan pelaku aktif dalam mewujudkannya.
Misalnya, perempuan yang mengambil peran dalam pendidikan anak-anaknya menunjukkan pathways thinking dengan merancang masa depan generasi muda. Dalam banyak kasus, mereka juga menghadapi tantangan struktural seperti ketimpangan gender atau keterbatasan akses. Namun di tengah keterbatasan itu, perempuan seringkali menunjukkan ketahanan luar biasa—konsep yang dalam psikologi dikenal sebagai resilience, yaitu kemampuan untuk bangkit dari tekanan atau trauma.
Secara sosiologis, peran sosial dari Talcott Parsons menunjukkan bahwa masyarakat memberi peran fungsional pada laki-laki dan perempuan. Namun, dalam praktiknya, perempuan telah melampaui peran tradisional sebagai penjaga rumah tangga. Mereka kini mengambil peran penting dalam pendidikan, ekonomi, dan kepemimpinan, sekaligus tetap menjaga fungsi sosial yang melekat. Transformasi ini memperkuat posisi perempuan sebagai penjaga harapan yang adaptif.
Tak bisa dipungkiri, perempuan masih menghadapi berbagai batasan struktural dan budaya. Namun, justru dari keterbatasan itulah tumbuh harapan: bahwa masa depan akan lebih inklusif, lebih adil, dan lebih manusiawi. Ketika perempuan mendapatkan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan yang layak, bukan hanya hidup mereka yang berubah—tapi generasi demi generasi akan merasakan dampaknya.
Perempuan bukan objek harapan; mereka adalah subjek yang menciptakan dan mewujudkan harapan itu sendiri. Maka, menghargai perempuan bukan sekadar bentuk penghormatan—melainkan pengakuan bahwa masa depan dibangun di atas fondasi kehadiran mereka.