Keringnya Tinta Para Intelektual, Menyimak Pemikiran Ali Syariati dalam Buku Tanggung Jawab Kaum Intelektual.

Oleh: Mohtar Umasugi

 

OPINI,BidikFakta.id –Di tengah arus deras wacana publik yang kerap bising tapi dangkal, saya merenung: ke manakah suara para intelektual? Mengapa pena-pena tajam itu kini terasa tumpul? Dan mengapa pula keberanian moral seolah memudar dari ruang-ruang pemikiran yang dulu penuh perlawanan?

Pertanyaan-pertanyaan ini menemukan pantulannya dalam buku Tanggung Jawab Kaum Intelektual karya Ali Syariati. Bukan sekadar karya filsafat, buku ini bagi saya adalah jeritan zaman yang menggugah kesadaran moral kaum terdidik. Syariati menulis bukan dari ruang nyaman akademik, melainkan dari keringat perjuangan dan keberpihakan yang teguh pada kaum tertindas.

Syariati tidak mendefinisikan intelektual sebagai sekadar orang berpendidikan tinggi atau pemilik gelar akademik. Intelektual, menurutnya, adalah mereka yang memiliki kesadaran sosial, keberanian moral, dan tanggung jawab sejarah. Mereka bukan hanya memikirkan dunia, tetapi berupaya mengubahnya.

Sayangnya, dalam konteks hari ini, banyak yang memilih menjadi penonton. Intelektual kita—yang seharusnya menjadi pelita zaman—malah tenggelam dalam kenyamanan birokrasi, akademik, dan absurditas politik identitas. Mereka absen dari penderitaan rakyat, dari ketidakadilan yang nyata, dan dari suara-suara yang terpinggirkan.

Tinta mereka kering—bukan karena kehilangan kemampuan menulis, tapi kehilangan keberpihakan.

Ali Syariati menegaskan bahwa tidak ada posisi netral dalam situasi ketidakadilan. Diam adalah bentuk keberpihakan kepada penindas. Maka, tanggung jawab intelektual tidak bisa hanya diukur dari produksi karya ilmiah atau keterlibatan dalam diskusi publik, melainkan dari keberanian bersikap dan berpihak.

Syariati mengkritik keras para intelektual yang menjadikan ilmu sebagai jalan mencari gengsi atau kemapanan, sementara realitas sosial di sekitarnya dibiarkan terbakar. Ilmu yang tidak membebaskan, menurutnya, hanyalah instrumen kuasa yang memperpanjang penindasan.

Saya melihat fenomena itu hari ini: banyak pemikir yang lebih nyaman menyusun narasi akademik daripada menyuarakan suara rakyat. Banyak yang bersikap aman dengan dalih “ilmiah”, tapi sebenarnya melarikan diri dari tanggung jawab sejarah.

Ali Syariati telah menunjukkan bahwa seorang intelektual tidak cukup hanya memiliki pikiran tajam. Ia harus memiliki nurani yang hidup. Ia harus mampu berdiri di tengah ketimpangan dan berkata: ini salah, ini tidak adil, ini harus diubah!

Saya percaya, bahwa tugas kita hari ini bukan memperbanyak gelar, melainkan memperkuat keberanian. Bukan memperluas pengaruh, tetapi memperdalam kesadaran. Jika para intelektual terus memilih diam, maka sejarah akan menyingkirkan mereka—karena perubahan tidak pernah datang dari mereka yang pasif.

Kini saatnya tinta-tinta yang kering itu dihidupkan kembali. Dengan menulis, dengan bersuara, dengan berpihak kepada kebenaran dan keadilan. Karena sejarah, seperti kata Syariati, tidak akan mencatat mereka yang hanya berpikir, tetapi mereka yang memilih bertindak.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *