100 Hari Kerja, Pemerintahan FAM-SAH: Sejumlah Permasalahan Pembangunan Masih Menjadi PR

OLEH:Mohtar Umasugi

KEPULAUAN SULA,BidikFakta.id –100 hari pertama pemerintahan FAM-SAH telah kita lewati. Periode ini, secara umum, dipahami publik sebagai tahap awal untuk membaca arah kepemimpinan dan kemampuan eksekusi dari visi-misi yang telah dijanjikan pada masa kampanye. Namun demikian, dari kacamata pembangunan daerah, belum tampak perubahan yang signifikan dalam menjawab sejumlah permasalahan krusial yang selama ini membelenggu Kabupaten kita.

Sebagai warga yang memiliki perhatian terhadap isu-isu strategis pembangunan, saya melihat bahwa 100 hari kerja ini belum cukup menjawab ekspektasi masyarakat yang berharap pada perubahan konkret, terutama di sektor pelayanan dasar, infrastruktur, dan tata kelola pemerintahan.

Menurut analisis pakar perencanaan pembangunan daerah, Dr. Bambang Brodjonegoro (2023), “100 hari kerja seharusnya difokuskan pada program yang bersifat quick impact—yang bisa langsung dirasakan masyarakat, walau skalanya kecil.” Dalam konteks Kabupaten Kepulauan Sula, seharusnya pemerintah bisa memulai dari penyelesaian infrastruktur dasar seperti akses jalan antar desa dan kecamatan, pelayanan kesehatan primer, PLN dan pengelolaan air bersih yang selama ini menjadi keluhan utama warga.

Faktanya, hingga saat ini, beberapa ruas jalan utama di wilayah kecamatan, terutama di kecamatan Sanana ( Ibu Kota Kabupaten Kepulauan Sula ) masih rusak parah dan membahayakan keselamatan pengguna. Program perbaikan infrastruktur yang dijanjikan dalam kampanye belum menunjukkan progres yang jelas. Begitu pula dengan layanan kesehatan, di mana fasilitas dan ketersediaan tenaga medis di Puskesmas terpencil masih jauh dari memadai. Bahkan, di beberapa desa, masyarakat masih mengandalkan tenaga dukun kampung karena tidak adanya akses pelayanan medis yang layak.

Dari perspektif tata kelola, penataan birokrasi yang efektif belum juga tampak. Sejumlah jabatan strategis masih diisi secara politis, bukan berdasarkan meritokrasi dan kinerja. Ini menjadi salah satu faktor yang membuat pelaksanaan program menjadi lambat dan terkesan reaktif, bukan proaktif.

Pakar kebijakan publik dan tata kelola pemerintahan, Prof. Dr. Riant Nugroho, dalam salah satu studinya menyebutkan bahwa “bupati di daerah 3T seharusnya fokus pada manajemen krisis pembangunan, bukan pada seremonial atau kegiatan simbolik belaka.” Ini menjadi catatan penting, sebab sebagian besar agenda 100 hari FAM-SAH justru dipenuhi dengan kegiatan seremonial, peresmian, dan temu muka yang belum berdampak langsung bagi masyarakat bawah.

Tentu, kita perlu memberi ruang dan waktu kepada pemerintah untuk bekerja lebih efektif. Namun, 100 hari ini setidaknya telah menunjukkan di mana letak kelemahan strategi awal pemerintahan FAM-SAH —yakni belum terbangunnya skala prioritas pembangunan secara tajam dan terukur.

Saya tidak menutup mata atas beberapa upaya positif seperti penguatan promosi potensi lokal, peluncuran pelayanan pendidikan berbasis digital, dan program pemberdayaan ekonomi masyarakat. Namun, semua itu belum cukup jika fondasi dasarnya—akses, layanan, dan pengelolaan—masih diwarnai oleh persoalan klasik.

Sebagai warga, kita memiliki tanggung jawab moral untuk terus mengingatkan dan memberi masukan. Pemerintah daerah perlu menyadari bahwa kepercayaan masyarakat tidak dibangun dari janji dan pidato, tetapi dari keberanian menyelesaikan masalah-masalah nyata di lapangan.

Akhirnya, saya berharap agar 100 hari ke depan, pemerintahan FAM-SAH berani mengevaluasi apa yang belum tercapai dan memperbaiki langkah. Karena perubahan sejati tidak ditentukan oleh banyaknya program, tetapi oleh kepekaan dan kecepatan merespons kebutuhan mendasar rakyat.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *