Tragedi Kekerasan Seksual Di Desa Wailoba Menjadi Tanggung Jawab Kita Semua

Oleh: Bahrul Fokaaya, Mahasiswa Hukum Universitas Muhammadiyah Maluku Utara

OPINI,BidikFakta.id –Sebagai mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan hukum, saya tidak hanya belajar teori-teori keadilan, tetapi juga diajarkan untuk peka terhadap kenyataan yang terjadi di sekitar. Namun, apa gunanya semua itu jika kita diam saat keadilan dilukai begitu keji seperti yang terjadi di Desa Wailoba?

Seorang anak di bawah umur diperkosa secara bergiliran oleh enam pria dewasa. Enam orang yang mestinya menjadi bagian dari komunitas pelindung, justru berubah menjadi predator yang merampas masa depan seorang anak yang seharusnya ia nikmati dengan riang dan aman.

Sebagai mahasiswa, saya melihat kasus ini bukan hanya sebagai tindak pidana, tapi juga sebagai cermin pudarnya rasa kemanusiaan dalam masyarakat. Kekerasan seksual, terutama terhadap anak, adalah kejahatan yang merusak banyak lapisan, baik secara fisik, psikis, sosial, dan bahkan struktur moral kemanusiaan.

Secara hukum, perbuatan para pelaku ini masuk dalam kategori Tindak Pidana Kekerasan Seksual terhadap Anak. Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak yang mengubah UU No. 23 Tahun 2002 sangat jelas: Pasal 81 ayat (1) Setiap orang yang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling banyak Rp5 miliar. Pasal 81 ayat (2) Bila perbuatan dilakukan secara bersama-sama atau berulang, maka ancaman pidana ditambah sepertiga dari maksimum hukuman. Pasal 81 ayat (5) Bahkan memungkinkan penjatuhan hukuman kebiri kimia, pemasangan alat deteksi elektronik, dan pengumuman identitas pelaku.

Selain itu, karena dilakukan oleh lebih dari satu orang dan korban adalah anak di bawah umur, maka pelaku bisa juga dijerat dengan Pasal 55 KUHP (penyertaan) dan Pasal 64 KUHP (perbuatan berlanjut).

Ini bukan saatnya kita berkompromi. Negara melalui aparat penegak hukum harus bertindak tegas dan transparan dalam memproses kasus ini. Tidak boleh ada “damai secara adat”, apalagi jika hanya demi menjaga nama baik desa sementara korban menanggung beban seumur hid

Kami, mahasiswa, adalah bagian dari generasi yang akan menentukan wajah hukum dan keadilan bangsa ini. Dan saya percaya bahwa keadilan bukan hanya milik ruang sidang, tapi juga milik setiap warga yang berani melawan ketidakadilan.

Tragedi ini harus menjadi titik balik. Sudah saatnya desa-desa memperkuat pendidikan seks berbasis perlindungan, mendorong budaya lapor, serta menghentikan stigma terhadap korban. Jangan sampai suara korban ditelan oleh sunyi, sementara pelaku berjalan bebas dengan dalih “kesalahan pemuda” atau “laki-laki khilaf”

Kekerasan seksual di desa Wailoba bukan hanya kejahatan terhadap satu anak, tetapi juga luka bagi kita semua. Jangan biarkan rasa kemanusiaan kita mati. Jika kita tidak bersuara sekarang, kapan lagi?

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *