OLEH : Kandi Muhlis, Mahasiswa Ilmu Hukum.
OPINI,BidikFakta.id – Dalam konstitusi kita, UUD 1945, termaktub dengan jelas bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Namun, realitas politik dan pemerintahan hari ini menunjukkan bahwa prinsip itu semakin menjauh dari kenyataan. Demokrasi kita tampaknya hanya hidup dalam prosedur, bukan dalam semangat dan substansi.
Pemilu memang masih berjalan, partai politik masih aktif, dan parlemen terus bersidang. Namun, pertanyaan mendasarnya: apakah rakyat benar-benar menjadi penentu arah negara ini? Ataukah mereka sekadar penonton yang hanya diberi hak memilih sekali dalam lima tahun, lalu dilupakan?
Kenyataannya, kekuasaan semakin terkonsentrasi di tangan segelintir elite politik dan ekonomi. Partai politik, yang seharusnya menjadi penghubung antara rakyat dan negara, berubah menjadi kendaraan kekuasaan yang eksklusif.
Proses rekrutmen politik didominasi oleh kekuatan uang dan jaringan kekuasaan, bukan oleh kualitas dan integritas calon pemimpin. Maka tak heran jika kebijakan publik seringkali lebih mencerminkan kepentingan kelompok tertentu, bukan kebutuhan rakyat luas.
Lihat saja bagaimana sejumlah undang-undang strategis disahkan tanpa dialog yang memadai dengan publik. UU Cipta Kerja, revisi KUHP, hingga regulasi pertambangan—semuanya ditetapkan dalam proses yang terburu-buru, mengabaikan gelombang kritik dari berbagai elemen masyarakat. Rakyat yang terdampak langsung, seperti petani, buruh, nelayan, hingga masyarakat adat, justru seringkali tidak dilibatkan dalam proses perumusan keputusan.
Sementara itu, jurang ketimpangan sosial terus melebar. Pembangunan infrastruktur yang dibanggakan kerap justru menyingkirkan warga dari tanahnya sendiri. Alam dieksploitasi, komunitas tercerabut, dan suara-suara kritis dibungkam. Semua ini mengindikasikan bahwa rakyat semakin kehilangan kendali atas negara yang seharusnya milik mereka.
Kedaulatan rakyat tidak boleh berhenti pada slogan dan seremoni. Ia harus hadir dalam praktik: dalam pengambilan keputusan yang partisipatif, dalam distribusi kekuasaan yang adil, dan dalam kebijakan yang berpihak pada kepentingan mayoritas, bukan segelintir elite.
Sudah saatnya rakyat tidak hanya diminta hadir saat pemilu, tetapi juga didengar dan diberdayakan dalam setiap tahap pembangunan bangsa. Demokrasi bukan hanya soal suara di kotak suara, tetapi soal siapa yang menentukan arah dan nasib negeri ini.
Jika negara benar-benar ingin disebut berkedaulatan rakyat, maka saatnya mendengarkan bukan hanya suara elite di parlemen, tetapi juga suara-suara kecil dari desa, dari kampus, dari jalanan, dan dari pinggiran.