OPINI,BidikFakta.id – Polisi, sebagai penegak hukum, tidak dibenarkan melakukan interogasi terhadap siapa pun—baik saksi, terperiksa, maupun tersangka—dengan cara-cara yang mengandung unsur paksaan atau tindakan lain yang bertentangan dengan hukum.
Seseorang yang sedang menjalani pemeriksaan wajib diperlakukan secara adil: bebas dari tekanan, dalam kondisi tenang, dan tidak dalam intimidasi apa pun. Prinsip ini bukan hanya soal etika, tapi merupakan amanat hukum positif di Indonesia.
Polisi dilarang keras menggunakan kekerasan atau ancaman—baik fisik maupun psikis—untuk memaksa seseorang memberikan keterangan atau pengakuan. Jika larangan ini dilanggar, bagaimana kita bisa percaya pada keabsahan proses hukum yang berjalan?
Pertanyaan ini mengemuka saat mencuat kasus yang dialami SU, warga Desa Wailoba. SU diduga mendapat perlakuan kasar dari oknum penyidik Polres Kepulauan Sula yang memaksanya mengakui perbuatan pidana tertentu.
Padahal, menurut Pasal 52 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas di hadapan penyidik maupun hakim. Penjelasan pasal ini menekankan pentingnya proses pemeriksaan yang tidak didasarkan pada rasa takut. Oleh karena itu, segala bentuk tekanan fisik atau psikologis harus dicegah.
Larangan tersebut juga dipertegas dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam tugas kepolisian.
Dengan mengacu pada regulasi di atas, jelas bahwa praktik interogasi paksa tidak memiliki tempat dalam sistem hukum Indonesia. Semua pihak yang diperiksa harus dijamin haknya untuk memberi keterangan secara bebas.
Namun fakta di lapangan sering kali berbeda. Kasus seperti yang menimpa SU memperlihatkan bahwa pelanggaran HAM dalam proses penyidikan masih terjadi dan perlu mendapat perhatian serius.
Tim redaksi Bidikfakta.id membuka ruang untuk masukan, tanggapan, maupun klarifikasi dari berbagai pihak, baik aparat penegak hukum maupun lembaga perlindungan hak asasi. Harapannya, tulisan ini dapat menjadi pintu masuk dalam meninjau ulang praktik penyelidikan yang seharusnya menjunjung tinggi hukum dan keadilan.*(Tim Redaksi Bidikfakta.id)