HMI Bacan Desak Penertiban Tambang di Pesisir: Laut Rusak, Nelayan Tersingkir

BIDIKFAKTA — Ketua Bidang Kemaritiman Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bacan, Asok J. Engka, melontarkan kritik tajam terhadap maraknya aktivitas pertambangan di wilayah pesisir Halmahera Selatan. Menurutnya, ekspansi tambang nikel tidak hanya merusak ekosistem laut, tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup nelayan setempat.

Dalam pernyataannya pada 23 Juni 2025, Asok menilai bahwa ruang tangkap nelayan semakin sempit akibat perluasan wilayah industri tambang, sementara pemerintah daerah dinilai gagal menyeimbangkan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan laut.

“Laut bukan sekadar sumber penghidupan, tapi identitas kami sebagai masyarakat pesisir. Sekarang laut kami tercemar, wilayah tangkapan semakin menyusut, dan nelayan makin terpinggirkan oleh kebijakan yang lebih menguntungkan korporasi tambang,” ungkap Asok.

Berdasarkan data dari WALHI dan laporan berbagai media nasional, terdapat lebih dari 22 Izin Usaha Pertambangan (IUP) aktif di Halmahera Selatan. Sebagian besar beroperasi di wilayah pesisir seperti Pulau Obi, Gane, dan Bacan Barat. Dampak ekologisnya sangat meresahkan—mulai dari kerusakan hutan mangrove, padang lamun, hingga terumbu karang. Pembuangan limbah tambang menyebabkan sedimentasi dan pencemaran laut yang semakin parah.

Akibatnya, hasil tangkapan nelayan terus merosot drastis. Komunitas nelayan di Kecamatan Obi dan Gane melaporkan penurunan dari 30–50 kg per hari menjadi kurang dari 10 kg, bahkan sering kali hanya beberapa kilogram saja.

Seorang nelayan dari wilayah Obi, Rasyid S., menyampaikan, air laut sekarang sudah keruh, ikan mulai menghilang. Kami harus melaut lebih jauh tapi hasilnya tetap minim. Kadang cuma dapat lima kilo. Pemerintah seakan tutup mata.

Meski Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan mengklaim telah menyalurkan bantuan sektor kemaritiman senilai Rp36 miliar berupa mesin perahu dan cold box, namun Asok menilai kebijakan itu hanya bersifat simbolis dan tidak menyentuh akar masalah.

“Apa gunanya mesin baru kalau lautnya sudah rusak? Pemerintah seharusnya fokus pada rehabilitasi pesisir, zonasi laut yang adil, dan penertiban tambang ilegal, bukan sekadar pencitraan,” tegasnya.

Melalui Bidang Kemaritiman, HMI Cabang Bacan menuntut langkah-langkah konkret dari Pemkab dan DPRD Halmahera Selatan:

1. Menertibkan tambang ilegal dan mencabut IUP di kawasan pesisir.2.  Melakukan rehabilitasi ekosistem pesisir yang rusak akibat tambang. 3. Menyusun zonasi wilayah tangkap nelayan secara partisipatif berbasis data ekologi. 4. Melibatkan masyarakat pesisir secara aktif dalam pengawasan dan perumusan kebijakan kelautan.

“Kami tidak menolak pembangunan. Tapi kami menolak ketidakadilan! Kalau laut terus dikorbankan demi kepentingan segelintir elit, maka bukan hanya mata pencaharian, tapi hak hidup ribuan nelayan akan lenyap. HMI Bacan akan terus berdiri bersama masyarakat pesisir untuk menuntut keadilan ekologis,” pungkas Asok.

Krisis laut di Halmahera Selatan hari ini bukan sekadar isu lingkungan, tapi juga soal keadilan sosial, hak hidup nelayan, dan kedaulatan sumber daya alam. Suara perlawanan dari masyarakat dan organisasi seperti HMI Cabang Bacan menjadi penting dalam menjaga martabat pesisir yang terus tergerus oleh eksploitasi.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *