BIDIKFAKTA – Insiden memalukan terjadi di Kantor Desa Toin, Kecamatan Kepulauan Botang Lomang, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Dalam sebuah kegiatan resmi pemerintahan yang digelar pada Rabu, 25 Juni 2025, bendera Merah Putih dipasang terbalik, hingga menyerupai warna bendera negara lain yakni, Putih di atas, Merah di bawah.
Kejadian ini sontak menuai kecaman dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Pusat Kajian Masyarakat Kepulauan (Pustaka Malut) yang menyebut tindakan tersebut sebagai bentuk kelalaian serius dan tak boleh ditoleransi.
“Ini bukan sekadar human error. Ini menunjukkan buruknya pemahaman penyelenggara terhadap simbol negara. Merah Putih bukan kain biasa, ia adalah simbol kehormatan dan identitas bangsa. Menyulapnya jadi Putih Merah, baik karena lalai atau tak peduli, adalah tindakan memalukan,” tegas Aprisal Terrang, Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga Pustaka Malut.
Aprisal menilai, insiden ini mencerminkan lemahnya kesadaran nasionalisme di tingkat pemerintahan desa. Ia mendorong agar dilakukan evaluasi menyeluruh, termasuk sanksi administratif kepada pihak pemerintah desa setempat untuk bertanggung jawab.
“Kalau hal seperti ini terus dianggap sepele, kita membuka ruang bagi pelanggaran simbol negara yang lebih serius. Harus ada pembinaan dan SOP yang jelas dalam setiap kegiatan resmi,” tambahnya.
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, pemasangan bendera secara tidak sesuai adalah pelanggaran hukum. Pasal 66 bahkan menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja mengibarkan bendera negara dalam kondisi terbalik atau tidak sesuai dapat dikenai hukuman pidana satu tahun atau denda maksimal Rp 100 juta.
Pustaka Malut juga mendesak agar seluruh kegiatan pemerintahan di tingkat desa, khususnya di wilayah Kecamatan Kepulauan Botang Lomang, dilengkapi pelatihan teknis tentang tata cara penggunaan simbol negara.
“Nasionalisme tidak boleh hanya jadi jargon. Penghormatan terhadap Merah Putih harus nyata dalam tindakan. Ini bukan hanya soal prosedur, tapi soal identitas dan harga diri bangsa,” pungkas Aprisal.
Peristiwa ini menjadi pengingat keras bahwa kesalahan sekecil apapun dalam memperlakukan simbol negara tidak bisa ditoleransi. Hormat terhadap bendera bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga wujud tanggung jawab moral dan komitmen kebangsaan.