Penulis: Iwan Wambes (Ketua OKK KNPI Kepulauan Sula)
BIDIKFAKTA – DPRD sebagai lembaga legislatif daerah memiliki mandat besar, menyuarakan kepentingan rakyat, mengawasi jalannya pemerintahan, dan menjaga integritas demokrasi. Namun, martabat lembaga ini sangat ditentukan oleh moralitas anggotanya. Dugaan anggota DPRD Kepulauan Sula yang terlibat dalam kasus pemerkosaan, yang dipertaruhkan bukan hanya nasib hukum individu tersebut, tapi juga kehormatan seluruh institusi DPRD.
Tindakan kekerasan seksual oleh pejabat publik adalah pelanggaran ganda, terhadap hukum pidana, dan terhadap etika serta nilai-nilai kemanusiaan. Ini bukan sekadar skandal personal. Ini adalah persoalan publik yang mencerminkan rusaknya budaya kekuasaan bila tidak segera ditindak.
DPRD tidak bisa berlindung di balik retorika prosedural. Lembaga ini harus menunjukkan komitmen etis, moral, dan politik. Badan Kehormatan (BK) DPRD wajib bertindak cepat. Memanggil terduga, melakukan klarifikasi, dan jika terbukti, memberhentikannya secara tetap. Sikap tegas juga semestinya datang dari partai pengusung, sebagai bentuk tanggung jawab politik dan pemulihan nama baik.
Lambannya respons hanya akan memperdalam krisis kepercayaan publik. Jika DPRD bungkam atau memberi perlakuan istimewa kepada pelaku karena statusnya, maka lembaga ini telah gagal menjaga prinsip equality before the law dan kehilangan moralitas politiknya.
Harkat DPRD bukan soal menjaga nama baik semu, tetapi soal menunjukkan bahwa tidak ada ruang aman bagi pelaku kekerasan seksual terutama di tubuh lembaga yang dibayar oleh uang rakyat ini sendiri.
DPRD harus berdiri bersama korban, bukan bersama pelaku. Sanksi tegas adalah bentuk cinta terhadap institusi, bukan ancaman. Bila diam, maka rakyat berhak menilai bahwa lembaga ini telah ikut menormalisasi kejahatan atas nama kekuasaan. Sudah saatnya DPRD membuktikan keberpihakannya pada keadilan, pada korban, dan pada moral publik.