BIDIKFAKTA – Indonesia harus menjadi pemain, bukan penonton abadi, dalam percaturan global. Negeri ini memiliki daya dan pengaruh yang kuat untuk ikut mengendalikan dinamika konflik internasional. Hanya saja, rasa percaya diri itu belum sepenuhnya dimiliki oleh pemimpin kita hari ini. Sudah saatnya Indonesia mengambil peran aktif dalam membangun masyarakat dunia dan menciptakan perdamaian abadi.
Konflik Rusia–Ukraina dan Skema Proxy War
Baru-baru ini, dunia kembali diguncang isu global, salah satunya ketegangan Rusia–Amerika yang berakar dari konflik Rusia–Ukraina. Konflik ini bermula dari ekspansi NATO yang merangkul Ukraina pada 2022, yang kemudian dianggap Rusia sebagai ancaman serius bagi kedaulatannya. Presiden Rusia, Vladimir Putin, menilai bahwa masuknya Ukraina ke NATO bukan hanya soal pertahanan, tetapi juga langkah strategis Amerika Serikat untuk menjadikan Ukraina sebagai buffer zone sekaligus pion dalam skema proxy war.
Dengan alasan itu, Rusia melakukan invasi, meskipun diklaim tidak menargetkan warga sipil, melainkan kepemimpinan politik Ukraina di bawah Vladimir Zelensky. Seiring eskalasi, Amerika Serikat hadir dengan citra sebagai “polisi dunia” melalui pengerahan kekuatan militer, sanksi ekonomi, dan ancaman politik. Namun, modus ini sudah terbaca oleh Putin sejak awal, sehingga Rusia tetap teguh melawan tekanan Amerika.
Konflik ini kemudian tidak bisa dipisahkan dari kepentingan dua kutub besar. Amerika dibekingi Inggris, sementara Rusia mendapat dukungan strategis dari China. Dengan kata lain, perang Rusia–Ukraina sejatinya merupakan perang hegemoni global: China versus Inggris, dengan Rusia dan Amerika sebagai pion utama.
Membaca Simpul dan Play Maker Global
Jika ditelisik lebih dalam, Amerika dan China adalah dua play maker di balik panggung ketegangan global. Amerika (dengan proxy Inggris) mengatur dinamika kawasan Eropa dan dunia Barat, sementara China tampil sebagai sutradara di kawasan Asia dan transkontinental. Namun, kedua kekuatan besar ini tidak pernah benar-benar tampil terang-terangan, melainkan memainkan peran melalui negara-negara sekutu.
Konflik Rusia–Ukraina menunjukkan bahwa pertarungan sebenarnya bukan hanya soal wilayah, tetapi soal ekonomi-politik global. Rusia berusaha melumpuhkan dominasi ekonomi Amerika, sementara China memanfaatkan momentum untuk memperkuat posisinya sebagai penguasa pasar dunia. Di sisi lain, Inggris tetap menjadi aktor penting yang menopang Amerika, sebagaimana China menopang Rusia.
Dengan kata lain, setiap langkah, dari aspek ideologi, politik, ekonomi, hingga pertahanan dan keamanan (IPOLEKSOSBUDHANKAM), menjadi instrumen sah bagi negara-negara adidaya untuk merebut hegemoni. Inilah wajah asli dari proxy war: perebutan kepentingan dengan memanfaatkan negara lain sebagai pion.
Peran Indonesia: Dari Bandung 1955 Menuju Perdamaian Abadi
Pertanyaannya: di mana posisi Indonesia? Apakah hanya menjadi penonton setia dalam ketegangan global, atau tampil sebagai mediator dunia?
Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia pernah menjadi pemain penting dalam percaturan internasional. Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung menjadi bukti konkret bahwa Indonesia mampu memprakarsai agenda besar yang mengubah arah geopolitik dunia, terutama bagi negara-negara yang baru merdeka.
Kini, saat dunia dihadapkan pada ancaman “kiamat buatan” akibat potensi perang nuklir, Indonesia perlu menghidupkan kembali semangat kepemimpinan globalnya. Konstitusi Indonesia melalui Pembukaan UUD 1945 (Alinea ke-4) jelas menyebutkan cita-cita untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Indonesia dapat menawarkan diri sebagai tuan rumah perundingan damai antara Rusia dan Amerika. Lebih jauh, Indonesia bahkan bisa menggelar “Konferensi Antar Benua” yang mengundang para pemimpin dunia untuk merumuskan tatanan baru berbasis perdamaian, kesetaraan, dan kemanusiaan. Hasil konferensi itu bisa melahirkan traktat internasional yang berfungsi sebagai Garis Besar Haluan Dunia (GBHD) dengan tema “World Society and Eternal Peace” atau “Masyarakat Dunia dan Perdamaian Abadi”.
Penutup: Tanggung Jawab Bersama
Membangun perdamaian dunia bukanlah tugas ringan, tetapi juga bukan hal yang mustahil. Indonesia memiliki modal sejarah, konstitusi, dan kapasitas moral untuk tampil sebagai aktor penting.
Tulisan ini tentu hanya sebuah tawaran gagasan. Penulis mengajak para akademisi, aktivis, dan pemimpin bangsa untuk turut menyumbangkan ide, konsep, dan solusi agar Indonesia tidak lagi sekadar menjadi penonton, tetapi pemain yang berani di panggung geopolitik global.
Karena perdamaian abadi bukan hanya cita-cita bangsa, melainkan tanggung jawab bersama umat manusia.
Penulis: 𝗥𝗼𝗵𝗺𝗶𝗻 𝗥. 𝗔𝗿𝗶𝗳𝗶𝗻
(Mantan Ketua Umum HMI Komisariat KH. Ahmad Dahlan UMMU Ternate)