Nasib PPPK di Kepulauan Sula, Akademisi Angkat Bicara

OLEH : Mohtar Umasugi

 

Bacaan Lainnya

OPINIDi tengah gempuran wacana reformasi birokrasi dan janji penguatan SDM unggul dari pusat hingga daerah, ratusan tenaga honorer di Kabupaten Kepulauan Sula masih bergelut dengan ketidakpastian nasib. Mereka adalah para peserta seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Tahap 1 tahun 2024 dan tahap 2 tahun 2025 yang telah mengikuti seluruh tahapan tes secara resmi. Namun, hingga saat ini, hasil kelulusan belum juga diumumkan.

Waktu terus berjalan, dan ketiadaan kejelasan ini menambah beban psikologis, ekonomi, dan sosial bagi para calon PPPK. Ketika pelamar dari daerah lain di Indonesia telah mengantongi SK pengangkatan atau setidaknya pengumuman hasil seleksi, di Kepulauan Sula, prosesnya justru seakan berjalan di tempat. Apakah ini sekadar kelalaian administratif, ataukah sebuah cermin dari lemahnya manajemen birokrasi lokal?

Dalam perspektif teori Struktural Fungsional (Talcott Parsons), birokrasi pemerintahan idealnya memainkan fungsi yang stabil dan dapat diandalkan untuk memastikan integrasi sosial dan mobilitas warga. Ketika proses rekrutmen PPPK baik tahap 1 tahun 2024 dan tahap 2 tahun 2025 macet di tengah jalan tanpa kejelasan, maka institusi yang semestinya menjadi pendorong stabilitas justru menjadi sumber kegelisahan sosial.

Calon PPPK Tahap 1 tahun 2024 dan tahap 2 tahun 2025, yang sebagian besar adalah guru, tenaga kesehatan, dan pelamar teknis, telah menaruh harapan besar pada proses ini. Mereka tidak hanya bersaing secara merit melalui sistem Computer Assisted Test (CAT), tetapi juga menggantungkan masa depan keluarga mereka pada janji negara tentang kepastian kerja. Dalam teori Mobilitas Sosial (Pitirim Sorokin), proses seperti seleksi PPPK merupakan salah satu pintu untuk berpindah dari status pekerjaan informal atau tidak tetap menuju status formal dengan kepastian dan perlindungan hukum. Ketika pintu ini dibiarkan terbuka setengah tanpa kepastian, maka negara, melalui perangkat daerahnya, justru menutup jalan mobilitas itu secara halus tapi menyakitkan.

Lebih jauh, dari sudut pandang Teori Keadilan Sosial (John Rawls), sistem yang adil adalah sistem yang memberi prioritas kepada mereka yang berada dalam posisi paling kurang beruntung. Para tenaga honorer ini—banyak di antaranya telah mengabdi lebih dari 10 tahun—adalah pilar pelayanan publik yang selama ini diandalkan di sekolah-sekolah pelosok dan puskesmas-puskesmas pinggiran. Ketika hasil tes yang sudah mereka ikuti secara sah tidak juga diumumkan, maka prinsip keadilan distribusi itu menjadi semu.

Yang lebih disayangkan, hingga kini belum ada pernyataan resmi dari pemerintah daerah yang menyentuh akar persoalan ini secara transparan. Padahal, kelambanan ini berpotensi mengikis kepercayaan publik terhadap sistem rekrutmen PPPK/ASN. Jika proses seleksi berbasis meritokrasi saja tidak selesai secara adil dan tepat waktu, bagaimana masyarakat bisa percaya pada wajah birokrasi yang lebih luas?

Saya menulis ini bukan untuk menggurui, tetapi sebagai bentuk kegelisahan sosial yang saya rasa mewakili banyak keluarga di Kepulauan Sula. Para peserta PPPK tahap 1 dan 2 tidak meminta belas kasihan. Mereka hanya ingin hasil jerih payah dan harapan mereka dihargai dengan kejelasan dan keadilan. Pemerintah daerah harus sadar bahwa diam dalam persoalan ini berarti mengabaikan tanggung jawab sosial dan moralnya kepada rakyat.

Kepastian bukanlah kemewahan, tetapi hak yang mestinya dijamin oleh negara. Maka dari itu, saya mengajak semua pihak, termasuk DPRD dan pemangku kepentingan lainnya, untuk ikut mengawal dan mendesak transparansi serta percepatan pengumuman hasil tes PPPK Tahap 1 tahun 2024 dan 2 tahun 2025. Sebab menunda kepastian bagi rakyat yang telah berjuang adalah bentuk ketidakadilan yang nyata.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *