BIDIKFAKTA – Keterbukaan informasi terkait penggunaan dana kerja sama media oleh Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan (Pemkab Halsel) menuai perhatian. Berdasarkan hasil pencarian di portal Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) serta Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) nasional, tidak ditemukan satu pun dokumen pengadaan yang mencantumkan kontrak media, jasa publikasi, atau kegiatan pemberitaan yang bisa diakses publik.
Kondisi ini sangat kontras jika dibandingkan dengan sejumlah kabupaten lain di Provinsi Maluku Utara, yang justru menerapkan prinsip transparansi secara terbuka terhadap alokasi belanja media. Langkah ini memunculkan pertanyaan besar: mengapa Pemkab Halsel belum menunjukkan itikad serupa dalam menyampaikan informasi penggunaan dana publik.
Sebagai contoh, Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur (Haltim) pada tahun 2025 tercatat mengalokasikan lebih dari Rp7,7 miliar untuk program kerja sama media. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp3,5 miliar digunakan untuk menggandeng 15 media lokal dan nasional, dengan seluruh informasi anggaran tertera jelas di LPSE dan dokumen APBD yang bisa diakses publik.
Sementara di Halmahera Barat, meskipun tidak memiliki anggaran kerja sama media, pemerintah setempat justru menyampaikan hal tersebut secara terbuka. PWI Halbar bahkan secara terbuka mengkritik Bagian Humas yang dinilai tidak menjalankan fungsi pelayanan informasi publik, sehingga mendorong perdebatan tentang urgensi transparansi dan pelayanan komunikasi pemerintahan.
Berbanding terbalik, Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan hingga kini belum menampilkan satu pun paket atau nomenklatur terkait kerja sama media di Rencana Umum Pengadaan (RUP), LPSE, maupun dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Diskominfo dan Bagian Protokoler Komunikasi Pimpinan.
Situasi ini menimbulkan dugaan publik. Informasi yang beredar luas menyebutkan bahwa terdapat alokasi dana sebesar Rp1,7 miliar yang digunakan untuk kegiatan publikasi dan kerja sama media tahun ini. Namun, tidak ada rincian terbuka yang menjelaskan siapa penerima anggaran tersebut, untuk keperluan apa, serta bagaimana mekanisme pengadaannya.
“Kalau memang benar ada dana media, kenapa tidak tercatat secara resmi, Kenapa tidak diumumkan terbuka sesuai ketentuan transparansi anggaran, Ini patut dipertanyakan,” ujar seorang pegiat antikorupsi di Bacan yang enggan disebutkan namanya.
Minimnya informasi tersebut memunculkan kekhawatiran akan adanya praktik pengelolaan anggaran secara tertutup yang berpotensi disalahgunakan. Terlebih, data Survei Penilaian Integritas (SPI) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2024 menempatkan Halmahera Selatan di zona merah dengan skor integritas hanya 52,6 dari 100.
Situasi ini mendorong publik dan insan pers untuk mendesak Pemkab Halsel, khususnya Dinas Komunikasi dan Informatika, agar membuka informasi terkait pengelolaan anggaran kerja sama media secara resmi dan transparan. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya penyelewengan dana publik.
“Jangan sampai anggaran ini jadi ruang gelap yang dimanfaatkan secara diam-diam. Kalau memang digunakan untuk media, masyarakat berhak tahu siapa yang menerima, dalam bentuk kerja sama apa, dan untuk kepentingan apa,” tegas seorang jurnalis media lokal.
Keterbukaan terhadap penggunaan dana yang bersumber dari APBD maupun APBN bukan hanya kewajiban moral, tapi juga mandat hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Jika Pemkab Halsel tetap bungkam, bukan tidak mungkin dugaan publik akan menjadi preseden buruk terhadap upaya memperkuat akuntabilitas dan integritas pemerintahan daerah.