OLEH:Mohtar Umasugi
OPINI,BidikFakta.id –Tahun ini, Kabupaten Kepulauan Sula menginjak usia 22 tahun—usia yang, jika diibaratkan manusia, sedang berada dalam masa produktif, penuh semangat, dan berpikir jauh ke depan. Tapi alih-alih dirayakan dengan refleksi dan visi yang menggugah semangat kolektif masyarakat, Pemerintah Daerah justru menyiapkan perayaan dengan agenda yang membuat banyak dahi mengernyit: makan cokelat batang terpanjang demi mengejar rekor MURI.
Apakah ini simbol pencapaian dua dekade pembangunan daerah? Ataukah ini bukti bahwa Pemda kita kehabisan ide segar dan subtansial untuk merayakan perjalanan panjang daerah ini?
Selama 22 tahun, masyarakat Kepulauan Sula menanti terobosan. Infrastruktur dasar belum memadai, layanan publik masih tersendat, ekonomi daerah belum beranjak signifikan, dan angka kemiskinan tetap menjadi cerita kelam yang tak kunjung ditutup. Tetapi pada momen penting ini, kita malah disuguhi euforia konsumsi cokelat batang sebagai pencapaian budaya dan kebanggaan daerah.
Ironis. Sebuah daerah kepulauan yang kaya akan potensi kelautan, perkebunan, dan budaya lokal, justru merayakan hari jadinya dengan cara yang terputus dari realitas masyarakat akar rumput. Bukannya festival edukatif, diskusi publik soal arah pembangunan, atau peluncuran program strategis untuk generasi muda—malah cokelat yang menjadi sorotan utama.
Apakah ini yang dimaksud dengan “inovasi daerah”? Apakah memburu rekor MURI lebih penting dari menyusun rekam jejak kemajuan nyata? Atau memang beginilah cara Pemda mengalihkan perhatian publik dari stagnasi kinerja mereka selama ini?
Perayaan seharusnya menjadi momentum kontemplasi, bukan panggung teatrikal yang miskin makna. Sula butuh pemimpin yang mampu membingkai setiap momen penting sebagai pijakan menuju masa depan. Sayangnya, perayaan tahun ini lebih mirip panggung hiburan yang kehilangan ruh, dibanding panggung pembangunan yang memberi arah.
Semoga ini menjadi tamparan sadar, bukan sekadar pesta manis yang cepat lumer seperti cokelat itu sendiri.