Refleksi 22 Tahun Kepulauan Sula: Generasi Muda, Terjebak dalam Euforia, Menjelma Bagai Sampah dan Beban Sejarah

OLEH:Prabowo Sibela, Aktivis dan Pemerhati Sosial.

KEPULAUAN SULA,BidikFakta.id –Kepulauan Sula memiliki sejarah panjang, mulai dari masa pra-sejarah hingga terbentuknya sebagai kabupaten modern. Wilayah ini dulunya merupakan bagian dari Kesultanan Ternate, kemudian menjadi pusat perdagangan dan transit pelayaran. Setelah melewati masa kolonial, Kepulauan Sula akhirnya dimekarkan menjadi kabupaten sendiri pada tahun 2003.

Kepulauan Sula, seperti wilayah lain di Indonesia, memiliki masa pra-sejarah yang belum sepenuhnya terungkap. Beberapa jejak budaya lokal dan artefak bersejarah menunjukkan adanya peradaban manusia di wilayah ini sejak lama.

Dalam catatan sejarah, Kepulauan Sula pernah menjadi bagian dari Kesultanan Ternate. Catatan de Clercq menyebutkan bahwa pada masa Kaicili Ngolo Macahaya (1350-1357), Sula menjadi bagian dari wilayah Ternate.

Hari ini tepatnya di tanggal 31 mei 2025 menandakan Kabupaten Kepulauan Sula telah berusia 22 Tahun. Perlu diingat kembali Pemekaran Kabupaten Kepulauan Sula didorong oleh keinginan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik yang lebih baik, percepatan pembangunan daerah, dan peningkatan kesejahteraan.

Dengan motto “DAD HIA TED SUA” yang berarti “Bersatu Angkat Sula” merupakan motto Kabupaten Kepulauan Sula yang mengagungkan persatuan dan kebersamaan, lambang kabupaten juga mencerminkan sejarah dan budaya daerah, dengan gambar perahu Juanga dan lima gelombang yang melambangkan perjuangan pemekaran.

Tetapi realitas sosial-ekonomi di Kabupaten Kepulauan Sula hari ini sangat kontras. Masyarakat banyak yang hidup dalam kemiskinan. Pengangguran meningkat. Pendidikan stagnan. Kesenjangan sosial melebar. Wajar, kita sering masuk dalam peringkat teratas sebagai Kabupaten dengan jumlah pengangguran terdidik tertinggi.

Di mana letak kegagalan ini? Jawabannya tidak rumit karena kebodohan dan Keserakahan yang dibudayakan dan dibiarkan terus hidup tanpa koreksi.

Kita sudah terlalu lama mentoleransi pola kepemimpinan yang korup, manipulatif, dan tidak kompeten. Mereka yang seharusnya mengurus daerah justru sibuk mengurasnya. Birokrasi dijadikan ladang transaksi, jabatan dijadikan komoditas, dan kekuasaan dijadikan tempat berlindung dari akuntabilitas.

Kita terbiasa melihat yang tidak layak memimpin justru dilestarikan, bahkan dibela mati-matian hanya karena alasan loyalitas buta atau afiliasi politik sempit. Kebodohan semacam ini akhirnya menjadi sistemik, tidak hanya terjadi di tingkat atas, tetapi juga menjalar ke bawah dan dianggap sebagai hal yang wajar.

Mereka yang haus kuasa dan harta seringkali tidak memiliki kapasitas. Mereka lihai dalam pencitraan, tapi kosong dalam substansi. Pandai berpidato, tapi tak mampu bekerja. Di hadapan rakyat mereka menjanjikan perubahan, di belakang layar mereka merancang perampokan.

Yang lebih ironis, wajah bisa berganti-ganti, tapi doktrin dan pola pikir kekuasaan tetap sama. Mereka mewarisi bukan semangat membangun, melainkan mental menjajah. Bahkan jika dibandingkan dengan penjajah asing sekalipun, koruptor hari ini jauh lebih hina karena mereka menjarah bukan untuk kejayaan rakyat dan negaranya , tetapi malah untuk kehancuran bangsanya sendiri.

Lalu, mengapa kita sebagai generasi muda, generasi penerus perjuangan para tokoh dan sesepuh tidak belajar dari sejarah perjuangan mereka memekarkan daerah ini?

Di era 1950-an Negeri ini bukan negeri birokrat dan elit-elit, ia adalah negeri para buruh, tani, dan nelayan, negeri para pelajar dan pejuang. Negeri ini tempat lahirnya para tokoh-tokoh cerdas dan aktivis yang sadar akan tatanan sosial

Semangat memekarkan Kabupaten Kepulauan Sula kala itu lahir dari kesungguhan dan ketulusan hati seluruh rakyat, baik tua maupun muda, yang bersama-sama ingin agar sula mendapatkan pelayanan publik yang lebih baik, percepatan pembangunan daerah, dan peningkatan kesejahteraan.

Generasi masa lalu, baik tua maupun muda, memiliki semangat yang sama untuk membangun. Mereka mencatatkan sejarah dengan kerja nyata, keberanian moral, dan kecintaan yang tulus terhadap negeri ini. Hasilnya terlihat: pembangunan terencana, diplomasi yang terhormat, dan kemandirian yang diperjuangkan tanpa kompromi.

Namun generasi hari ini, dalam banyak hal, telah kehilangan daya juangnya. Baik generasi tua yang masih bertahan di puncak kekuasaan semu maupun sebagian generasi muda yang terjebak dalam euforia instan mulai menjelma menjadi sampah dan beban sejarah. Mereka tidak lagi membawa cita-cita besar, hanya ambisi pribadi yang menyimpang. Mereka bukan penerus peradaban, melainkan penghambatnya kemajuan bangsa dan negara

Kita kini menyaksikan bagaimana kebodohan menjadi warisan sosial. Mentalitas feodal, budaya toxic, dan ketakutan untuk berkata benar terus dipelihara. Bahkan di tengah era keterbukaan informasi, kebiasaan menutupi kegagalan dengan narasi kosong masih dijadikan norma. Kebiasaan bodoh ini terus diwariskan: tidak kritis terhadap penguasa, tidak jujur terhadap masalah, tidak pula serius memperbaiki kesalahan.

Maka tidak mengherankan jika di Usia yang ke 22 Tahun ini Kabupaten Kepulauan Sula tetap miskin meski kaya, banyak sumber daya alam dan sumber daya manusia namun miskin lapangan pekerjaan, pembangunan disegala sektor kehidupan terbengkalai. Karena gagal memperbaiki pola pikir dan gagal membangun sistem yang sehat. Kita membiarkan pemalas mendikte arah pembangunan, dan membungkam suara-suara jernih yang ingin membawa perubahan.

Sudah saatnya negeri ini berhenti memelihara kebodohan yang diwariskan. Jika pemimpin hari ini tidak mampu membawa negeri ini keluar dari lingkaran stagnasi, mereka harus memberi jalan. Jangan halangi generasi yang masih punya akal sehat, nurani, dan keberanian untuk memperbaiki negeri ini.

Kabupaten Kepulauan Sula butuh pemimpin, bukan penjaga kekuasaan. Butuh negarawan, bukan pedagang politik sesat. Butuh pembangun, bukan pewaris sistem bobrok.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *