OLEH :Mohtar Umasugi
OPINI,BidikFakta.id –Pagi ini, saat aroma kopi menyeruak dari cangkir sederhana di beranda rumah, saya kembali merenung tentang rumah besar kita—Kabupaten Kepulauan Sula. Tanpa suara, kabar itu sampai di meja kopi saya: Kepulauan Sula kembali masuk dalam peta sebaran daerah tertinggal versi pemerintah pusat. Sejenak saya terdiam, lalu tergerak untuk menulis. Bukan untuk menyalahkan siapa-siapa, tapi untuk mengajak berpikir bersama: bagaimana kita sampai di titik ini?
Masuknya Kabupaten Kepulauan Sula sebagai salah satu daerah tertinggal bukanlah sekadar stempel administratif. Ini adalah cermin dari realitas sosial, ekonomi, dan infrastruktur yang masih jauh dari layak. Definisi daerah tertinggal menurut Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2020 mengacu pada wilayah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi rendah, akses pelayanan dasar yang terbatas, dan kondisi geografis yang menyulitkan pembangunan.
Kalau kita mau jujur, banyak indikator itu sudah lama hadir di kehidupan sehari-hari masyarakat kita: angka kemiskinan yang tak kunjung turun, kualitas pendidikan yang masih rendah, layanan kesehatan yang tidak merata, akses jalan antarwilayah yang rusak parah, serta minimnya infrastruktur dasar seperti air bersih dan listrik di sejumlah desa. Bahkan harga sembako yang sering melambung tinggi, semakin menambah beban hidup rakyat kecil.
Dalam kondisi seperti ini, pemerintah daerah harus berani menata ulang prioritas. Konsentrasi penuh semestinya diarahkan pada penyelesaian masalah-masalah dasar yang membuat daerah ini masih tertinggal. Bukannya terjebak dalam kegiatan seremonial yang berulang-ulang tapi minim dampak nyata. Acara-acara simbolik dan peresmian proyek yang belum siap hanya menghabiskan energi dan anggaran.
Lebih dari itu, pola perjalanan ke luar daerah yang terlalu sering, tanpa agenda yang terukur dan hasil yang jelas untuk rakyat, juga patut dievaluasi. Perjalanan dinas yang hanya menguras anggaran namun tak membawa pulang solusi atau program konkret, tak ubahnya seperti berjalan di tempat: lelah, tapi tidak sampai ke mana-mana.
Hari ini, kita tak butuh citra dan pertunjukan. Yang kita butuh adalah kepemimpinan yang bekerja dalam diam namun berdampak besar. Pemerintahan yang lebih banyak turun ke desa daripada tampil di panggung, lebih sering hadir di lapangan daripada di hotel-hotel pertemuan. Karena hanya dengan cara itu, kita bisa menyentuh akar dari keterisolasian dan ketertinggalan yang selama ini membelenggu.
Masuknya Sula ke dalam daftar daerah tertinggal jangan dijadikan alasan untuk mengemis anggaran atau sekadar menarik simpati. Ini harus jadi alarm keras bahwa pola pembangunan selama ini tidak efektif, dan perlu dibenahi dari hulu ke hilir.
Butuh keberanian politik untuk membatasi hal-hal yang tak prioritas. Anggaran harus diarahkan pada sektor strategis: perbaikan infrastruktur dasar, pemberdayaan ekonomi lokal, pendidikan vokasional, penguatan layanan kesehatan primer, dan pembukaan akses transportasi antarkecamatan serta desa-desa terpencil.
Saya tetap percaya bahwa selama ada kesadaran dan kemauan untuk berubah, keterbelakangan bukanlah nasib tetap. Kepulauan Sula punya potensi besar: laut yang luas, hutan yang kaya, budaya yang kuat, dan posisi yang strategis di perairan Indonesia Timur. Yang dibutuhkan adalah arah pembangunan yang berpihak, kepemimpinan yang merakyat, dan tata kelola yang transparan serta akuntabel.
Kopi pagi ini mengingatkan saya: kenyataan yang pahit memang tak bisa dihindari, tapi ia bisa dijadikan pemantik kesadaran. Kabupaten Kepulauan Sula masih tertinggal. Tapi lebih tertinggal lagi jika pemimpinnya enggan berubah, dan masyarakatnya berhenti peduli.
Mari kita bangun ulang fondasi harapan—bukan di balik meja seremonial, bukan di ruang rapat luar daerah, tapi dari suara-suara warga yang minta diperhatikan. Karena masa depan daerah ini tak ditentukan oleh berapa kali kita tampil di panggung, tapi oleh seberapa besar kita hadir di tengah rakyat yang menunggu perubahan nyata.