OLEH: Jisman Leko
OPINI– Dalam setiap babak penting sejarah dunia—baik dalam perjuangan kemerdekaan, reformasi sosial, hingga inovasi teknologi—generasi muda selalu memegang peranan kunci. Mereka adalah kekuatan vital yang mendorong perubahan, penggugah kesadaran, dan penjaga api idealisme. Namun sayangnya, dalam banyak masyarakat, termasuk di negeri kita sendiri, suara-suara muda sering kali dikecilkan, diremehkan, bahkan dibungkam oleh dominasi kaum tua yang enggan melepaskan kuasa dan pengaruhnya.
Kaum tua bukan soal usia, melainkan sebuah simbol dari struktur dan pola pikir usang yang bertahan karena takut pada perubahan. Mereka yang terlalu nyaman dengan kekuasaan yang terpusat, terlalu takut kehilangan dominasi atas narasi, kebijakan, dan arah masa depan bangsa. Di tangan mereka, kemapanan dijadikan tameng untuk membungkam keberanian, dan pengalaman dijadikan alasan untuk mendiskreditkan idealisme.
Padahal, idealisme bukan musuh realitas. Justru dari idealisme-lah lahir kemajuan. Gagasan-gagasan besar lahir dari imajinasi yang belum dibatasi oleh trauma masa lalu, keberanian untuk mempertanyakan yang mapan, dan energi yang tak mudah patah oleh kekalahan. Kaum muda adalah pembawa semua ini—dan karenanya, menjadi ancaman bagi struktur kekuasaan yang stagnan.
Dalam kondisi seperti ini, dominasi kaum tua bukan hanya hambatan politik, tapi hambatan kesadaran. Ketika kaum muda tidak diberi ruang untuk tumbuh, untuk keluar, dan untuk bangkit kembali dengan lebih bijak, maka bangsa ini tidak sedang bergerak maju—melainkan berjalan di tempat, atau bahkan mundur secara tak sadar.
Hari ini, kita menyaksikan bagaimana banyak kebijakan publik tidak mencerminkan aspirasi generasi muda. Kita menyaksikan bagaimana forum-forum penting didominasi oleh wajah-wajah lama, gagasan lama, dan pendekatan yang tak lagi relevan dengan tantangan zaman. Kita melihat media sosial—ruang ekspresi anak muda—dipantau dan dibatasi. Bahkan di kampus-kampus, yang seharusnya menjadi pusat intelektual muda, suara kritis kadang dianggap ancaman. Semua ini menunjukkan bahwa kita belum selesai dengan warisan otoritarianisme berpikir.
Tumbangkan dominasi itu bukan berarti membenci masa lalu. Kita menghormati sejarah dan mereka yang berjasa. Tapi penghormatan tidak sama dengan kepatuhan buta. Masa depan butuh kebebasan, bukan pengulangan. Butuh keberanian untuk berkata “cukup” kepada pola lama yang tak lagi berpihak pada keadilan, kesetaraan, dan keberlanjutan.
Yang kita butuhkan adalah revolusi kesadaran. Bukan sekadar revolusi politik, tapi perubahan mendasar dalam cara kita melihat otoritas, mendengar suara-suara baru, dan mempercayai potensi generasi penerus. Ini bukan tentang menggulingkan satu generasi oleh generasi lainnya, tapi soal transisi kuasa yang sehat, terbuka, dan progresif.
Kaum muda harus hadir, bukan hanya sebagai pengikut, tapi sebagai penggagas. Tidak lagi menunggu diberi ruang, tapi menciptakan ruang. Tidak lagi tunduk pada sistem yang tak mendengarkan, tapi menyusun ulang sistem agar lebih adil dan terbuka. Mereka harus memimpin diskusi, bukan hanya menjadi catatan kaki dalam sejarah bangsa.
Revolusi kesadaran yang dimulai dari keberanian untuk berbicara, untuk mempertanyakan, dan untuk membayangkan dunia yang lebih baik, adalah revolusi yang tidak bisa dibendung. Dan ketika revolusi itu datang, ia bukan hanya mengganti pemimpin, tapi membangun peradaban baru yang lebih manusiawi.
Maka inilah waktunya: Bangkit, kaum muda! Suaramu bukan riuh yang mengganggu, melainkan kebenaran yang membebaskan. Keberanianmu bukan kesombongan, tapi fondasi masa depan. Tumbangkan semua bentuk pembungkaman—dengan pena, suara, karya, dan tindakan nyata. Karena masa depan tidak menunggu restu. Ia menunggu keberanian.