STAI Babussalam Sula, Aset Peradaban dari Pinggiran

OLEH :Mohtar Umasugi

OPINI BIDIKFAKTA – Di tengah derasnya arus globalisasi dan urbanisasi, sering kali institusi pendidikan tinggi di daerah pinggiran terlupakan. Namun justru dari pinggiranlah, kita bisa melihat denyut peradaban yang tulus dan merintis. Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Babussalam Sula merupakan contoh nyata bagaimana lembaga pendidikan Islam tidak hanya bertahan, tapi juga membangun harapan, identitas, dan cita-cita kolektif masyarakat di Kepulauan Sula.

STAI Babussalam Sula didirikan bukan hanya untuk mencetak sarjana, STAI Babussalam membawa misi yang jauh lebih besar: membentuk karakter, membangun kesadaran keilmuan, dan menghidupkan ruh peradaban Islam dari pinggiran. Sebagai lembaga pendidikan tinggi berbasis agama yang hadir di kabupaten kepulauan, STAI Babussalam merupakan jawaban atas kebutuhan masyarakat lokal untuk memiliki institusi akademik yang dekat, terjangkau, namun tetap berkualitas dan relevan.

Kita menyadari bahwa tantangan membangun peradaban bukan semata perkara infrastruktur megah atau akses digital canggih. Lebih dari itu, peradaban ditopang oleh manusia berilmu dan berintegritas. Di sinilah STAI Babussalam mengambil peran sentral: menjadi kawah candradimuka bagi anak-anak daerah yang ingin membangun tanah kelahirannya dengan bekal nilai-nilai Islam, ilmu pengetahuan, dan kesadaran sosial.

Sejak awal pendiriannya, cita-cita besar ini telah diikrarkan oleh para tokoh pendirinya. Hi. Fatahudin Rono, Ketua Dewan Pendiri STAI Babussalam, pernah menyampaikan:

“Kampus ini bukan didirikan sekadar untuk melahirkan sarjana, tapi untuk mencetak pemimpin-pemimpin moral yang mampu membawa perubahan dari daerah sendiri, berlandaskan nilai Islam dan kejujuran intelektual.”

Sementara itu, almarhum Dr. Hi. M. Tahir Sapsuha, sosok pendiri sekaligus Ketua STAI Babussalam periode 2010–2015, dalam berbagai forum akademik sering menyampaikan pesan mendalam yang kini menjadi warisan moral bagi civitas akademika:

“Membangun peradaban Islam di daerah seperti Sula tidak membutuhkan banyak bicara, tetapi membutuhkan keberanian berpikir, keikhlasan mengajar, dan semangat melayani umat dengan ilmu. STAI Babussalam harus jadi pusat gerakan perubahan dari timur.”

Namun perjalanan STAI Babussalam tentu tidak mudah. Ia harus bertarung melawan stigma bahwa kampus pinggiran tidak cukup “kredibel”. Ia harus menghadapi keterbatasan anggaran, minimnya dosen tetap berkualifikasi doktoral, serta infrastruktur yang belum memadai. Meski demikian, daya tahan STAI Babussalam justru terletak pada militansi akademik para dosennya, semangat mahasiswanya, dan kepemimpinan yang konsisten mendorong transformasi.

Di bawah kepemimpinan periode berikutnya, Hi. Abd. Rahman Kharie, M.Pd.I, STAI Babussalam mengalami kemajuan penting dalam aspek tata kelola, penguatan kurikulum, dan pengembangan SDM. Kini sebagai Ketua Yayasan Babussalam Sanana, beliau terus mendorong sinergi antara yayasan, kampus, dan masyarakat. Dalam suatu pertemuan, beliau menekankan:

“STAI Babussalam adalah rumah besar umat Islam Sula. Jika kita ingin melihat peradaban ini maju, maka jangan pernah lepas tangan dari lembaga ini. Tugas kita hari ini adalah memperkuat yang sudah ada, dan membangun yang belum sempat diwujudkan oleh para pendiri terdahulu.”

Di balik segala keterbatasan itu, STAI Babussalam sejatinya merupakan aset strategis. Ia adalah ruang reproduksi intelektual lokal, tempat lahirnya guru-guru, pemikir, aktivis dakwah, birokrat, dan pemimpin masa depan. Kampus ini menjadi wadah kaderisasi intelektual dan moral yang peka terhadap kearifan lokal namun berpandangan luas tentang dunia.

Dalam konteks pembangunan daerah, STAI Babussalam juga menjadi mitra strategis. Jika Pemda serius membangun Sula, maka mereka harus melihat STAI bukan sebagai beban, tapi sebagai investasi jangka panjang peradaban. Mendukung kampus ini adalah mendukung masa depan Sula.

Kini, STAI Babussalam tidak boleh berjalan sendiri. Dunia usaha, alumni, dan Pemda harus mengambil peran strategis. Alumni perlu bersatu dalam jaringan yang kuat, mendorong akreditasi program studi, menghadirkan dosen tamu dari luar daerah, serta membantu menciptakan peluang magang dan kerja.

Pemda pun sudah saatnya mengalokasikan anggaran khusus untuk penguatan mutu pendidikan tinggi lokal. Investasi di STAI Babussalam adalah investasi untuk mencetak aparatur pemerintahan yang beretika, guru-guru yang mencerahkan, dan pemimpin masa depan yang berakar pada nilai keislaman dan kebudayaan Sula.

Sebagai putra daerah, saya percaya STAI Babussalam bukan sekadar lembaga pendidikan. Ia adalah simbol harapan, benteng nilai, dan sumber inspirasi. Kampus ini berdiri di pinggiran, tapi misinya menyasar pusat peradaban.

Kepada para pendiri yang telah mengorbankan pikiran, waktu, dan tenaga demi hadirnya kampus ini, kami sampaikan rasa hormat yang mendalam. Khusus kepada almarhum Dr. Hi. M. Tahir Sapsuha, kami panjatkan doa agar segala amal perjuangan beliau diterima Allah SWT sebagai jariyah keilmuan yang terus mengalir pahalanya. Semoga beliau ditempatkan di sisi terbaik-Nya bersama para pejuang ilmu.

Kepada para pendiri yang masih bersama kita hari ini, seperti Hi. Fatahudin Rono dan Hi. Abd. Rahman Kharie, M.Pd.I, harapan kami semoga tetap diberi kesehatan dan kekuatan untuk terus membimbing generasi penerus dalam menjaga marwah kampus ini. Warisan perjuangan Bapak-Bapak adalah titipan sejarah yang tak boleh kami khianati.

Mari kita jaga dan dukung STAI Babussalam bukan karena ia sempurna, tapi karena ia terus berproses, bertahan, dan berjuang. Di tengah keterbatasannya, ia telah menjadi obor kecil yang menerangi jalan panjang peradaban dari Sula untuk Indonesia, bahkan dunia.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *