Eskalasi Korupsi Dan Menopause Hukum.

OLEH: Alfareja Sangaji.

OPINI,BidikFakta.id –Fenomenologi persoalan hukum hari ini tengah menjadi diskursus yang amat signifikan, hal tersebut menandai berbagai permasalahan yang kemudian mereduksi integritas dan citra lembaga penegakan hukum di Indonesia. Salah satu permasalahan yang mendasari lemahnya pengawasan serta penegakan hukum adalah kasus korupsi yang terus meningkat dari tahun ke tahun, dengan implikasi keterlibatan pejabat pemerintah (birokrasi), elit bisnis, hingga suap (gratifikasi) yang menyeret aparat penegak hukum. Permasalahan tersebut tidak terlepas dari budaya patron-client yang masih terpelihara dalam lingkup birokrasi, intervensi dan penyelewengan kekuasaan politik hingga demoralisasi aparat penegak hukum.

Kasus korupsi telah menggerus dan mengikis kepercayaan publik terhadap institusi penegakan hukum, akibat dari lemahnya pengawasan serta keterlibatan penyidik di institusi kepolisian, kejaksaan, KPK, hingga hakim dalam berbagai kasus. Pada tahun 2023, Transparency International Indonesia (TII) mencatat Indeks Persepsi Korupsi stagnan di angka 34 dari 100, dari 180 negara, Indonesia berada pada peringkat 115 dan mengalami penurunan dari beberapa tahun terakhir. Persepsi ini menunjukkan buruknya persepsi publik terhadap penegakan hukum dalam memberantas kasus korupsi, akibat dari penyelesaian yang sangat lamban dan berlarut-larut. Implikasi tersebut bertautan dengan hasil Survey LSI (Lembaga Survei Indonesia), mencatat pada tahun 2023, tiga puluh persen publik menilai penegakan hukum di Indonesia buruk.

Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam laporan hasil pemantauan tren korupsi, menandai kasus korupsi di lima tahun terakhir mengalami lonjakan yang signifikan. Tercatat, di tahun 2019 terungkap 271 kasus, 2020 sebanyak 444 kasus, 2021 naik 533 dan 2022 sebanyak 579 kasus, tertinggi di tahun 2023 dengan lonjakan 791 kasus. Hal ini menunjukan bahwa permasalahan korupsi di Indonesia masih menjadi suatu masalah yang sangat serius dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Intensitas permasalahan dari berbagai rentetan masalah hukum di antara kasus-kasus yang ada, kemudian melahirkan sebuah fenomena sosial, semisal represifitas aparat dalam penanganan aksi masa, penerapan hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah (tebang pilih). Yang penyelesaiannya terkesan sepihak, sehingga mengikis dan menurunkan supremasi dan ketidakpercayaan terhadap penegakan hukum, akibat penanganan yang tidak responsif dan aspiratif. Rentetan tersebut kemudian memunculkan reaksi publik dengan lahirnya hastag (No Viral No Justice) sebagai reaksi atas penanganan kasus-kasus hukum yang lambat serta berbelit-belit secara normatif, ketidaksetaraan akses keadilan, maupun banyaknya intervensi dalam mempengaruhi putusan hukum, hal ini kemudian menjadi sebuah cerminan lahirnya reaksi publik. Seperti dikatakan Sadjipto Rahardjo bahwa penegakan hukum dijalankan oleh aparatur negara, olehnya itu perilaku aparat penegak hukum dalam struktural hukum sangatlah penting di sorot dalam penegakan hukum.

Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam teori hukum responsif menegaskan bahwa hukum harus hadir sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap aspirasi sosial. Dimana penerapan hukum haruslah responsif terhadap aspirasi sosial atau kepekaan sosial, yang tidak hanya terbatas pada penerapan undang-undang. Melainkan hukum harus menjadi penyeimbang aspek normatif dan aspek sosial, yang mampu mendorong atau mewadahi terwujudnya kehidupan sosial yang berkeadilan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *