Transformasi pemidanaan dari pembalasan ke pengayoman kemudian dari penjara ke Lembaga Pemasyarakatan merupakan lompatan yang mengubah wajah penjara yang horor dan terpisah dari sosial masyarakat kini menjadi humanis dan terintegrasi dengan masyarakat. Di saat transformsi di atas telah berjalan, tantangan yang terus menjadi momok adalah “overcrowded” sebuah peristiwa membludaknya terpiana melebihi daya tampung sarana hunia terpidana.
Kompleksitas penjara membuat overcrowded tidak hanya sebatas persoalan kapasitas ruangan/sel yang terbatas, namun juga berdampak pada aspek yang lain, seperti ketersediaan air, aktivitas kamar mandi, kebersihan, kesehatan, hingga proses pembinaan yang kurang maksimal. Bagi terpidana, kepadatan yang berlebihan menyebabkan mereka hidup dalam kondisi yang tidak layak, berbagai persoalan seperti pengapnya udara, redupnya cahaya, hingga sanitasi yang buruk menyebabkan mereka jauh dari kata nyaman. Belum lagi resiko penyebaran penyakit menular kronis seperti TB, HIV dan infeksi menjadi lebih cepat karena jarak fisik terlalu dekat dan fasilitas kesehatan yang terbatas.
Pada saat berada dalam situasi yang serba tidak nyaman, gangguan mental menjadi masalah yang melekat. Stres, depresi hingga gangguan psikologis pun meningkat akibat tekanan hidup karena berda dalam lingkungan yang terlalu padat dan tidak tersedianya ruang privasi lagi. Dampaknya sangat signifikan. Peristiwa kerusuhan maupun kasus kaburnya warga binaan menjadi alarm lantang bagi negara. Di tahun 2025 sedikitnya ada dua peristiwa di Lembaga Pemasyarakatan yang menyita perhatian publik.
Maret lalu, kita di hebohkan dengan peristiwa kaburnya 52 terpidana di Lapas Kelas IIB Kutacena, Aceh. Tak berselang lama, pada 8 Mei 2025 Terpidana di Lapas Kelas IIB Muara Beliti membuat kerusuhan karena menolak razia handphone dan narkoba. Kejadian ini menjadi perhatian berbagai pihak, karena gangguan keamanan di dalam Lapas/Rutan berdampak pada gangguan keteraturan terhadap ketertiban umum.
Peristiwa-persitiwa ini tak hanya menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban di dalam Lapas, namun tingkat kepercayaan publik terhadap Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara menjadi rendah. Publik bahkan menilai hal ini terjadi karena kelalaian petugas pengamanan, dengan menduga mereka tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Liarnya informasi dan cara publik menilai institusi ini dari luar sangatnya berbeda dengan kondisi seutuhnya di balik tembok penjara. Kasus-kasus anomali yang terjadi di dalam Lapas/Rutan adalah gejala kecil yang muncul ke permukaan dan menutupi ancaman besar di baliknya.
Penilaian negatif publik inilah yang akhirnya menyebabkan akar masalah dari peristiwa tersebut tidak terungkap dengan jelas. Salah satu problem utama yang lolos dari atensi publik adalah “overcrwoded” atau kondisi jumlah penghuni lebih besar di banding kapasitas huniannya. Pada kasus Kerusuhan dan pelarian di Lapas Kutacene misalnya, bila di teropong lebih jauh, secara ideal kapasitas Lapas hanya dapat menampung 85 orang saja. Akan tetapi di saat terjadi kerusuhan Lapas Kutacenen di huni oleh 362 terpidana.
Begitu pula dengan Lapas Muara Beliti, Narapidana bahkan menguasai Lapas dan mengakibatkan sejumlah fasilitas Lapas mengalami kerusakan berat, pada saat kerusuhan itu terjadi Lapas Muara Beliti di huni oleh 1.014 terpidana dari kapasitas hunian 362. Lebih lanjut, secara total jumlah Warga Binaan dan Tahanan yang menghuni Lapas/Rutan di seluruh Indonesia per bulan April 2025 mecapai 275.001 dengan kapasitas sarana hanya dapat menampung 145.747 penghuni saja. Jika di biarkan terus menerus, hal ini akan mempersulit proses pengawasan, perawatan, hingga proses evakuasi cepat apabila terjadi hal-hal berupa kebakaran atau bencana alam.