Selimut Politik untuk Keresahan, Bukan Perubahan: Sebuah Anomali di Halmahera Timur

OLEH :Barli Rano

BIDIKFAKTA – Tulisan ini berangkat dari kekecewaan terhadap politik lokal yang cenderung meredam keresahan rakyat tanpa menjawab akar masalah.

Bacaan Lainnya

Halmahera Timur, tanah yang kaya akan sumber daya, menyimpan potensi besar bagi kesejahteraan rakyatnya. Tapi kekayaan itu kerap kali tidak berpihak pada masyarakat yang menghuni tanah tersebut secara turun-temurun. Di balik jargon pembangunan dan retorika keadilan sosial, masyarakat justru menghadapi ketimpangan, ketidakpastian, dan krisis ekologis yang makin terasa nyata.

Ironisnya, ketika keresahan rakyat mencuat—entah soal kerusakan lingkungan, konflik lahan, atau akses terhadap layanan dasar—yang muncul bukan perubahan struktural, melainkan respons politik yang bersifat kosmetik. Kebijakan dirancang lebih untuk meredam suara publik, bukan mendengarkannya secara utuh. Inilah yang disebut sebagai selimut politik: respons sementara yang hangat di permukaan, tapi tidak pernah menyentuh akar masalah.

Halmahera Timur kini menjadi panggung dari anomali demokrasi lokal. Pemimpin yang seharusnya menjadi pembawa aspirasi rakyat justru berubah menjadi aktor politik yang memanipulasi narasi, mereduksi kritik menjadi keluhan personal, dan menjadikan “dialog” sebagai formalitas belaka. Alih-alih memicu perubahan, mereka menggunakan jabatan untuk merawat status quo, sering kali dengan cara yang halus namun sistematis.

Bentuk selimut politik ini beragam: forum-forum musyawarah yang tak menghasilkan keputusan nyata, janji pembangunan yang tak pernah ditepati, hingga penggunaan simbol-simbol agama dan budaya untuk membungkus agenda yang sejatinya elitis. Semua itu dilakukan bukan untuk memperbaiki situasi, melainkan untuk menenangkan kemarahan rakyat—sementara eksploitasi terus berjalan di belakang layar.

Lebih menyedihkan lagi, masyarakat yang vokal dan kritis kerap dicap sebagai pengganggu stabilitas atau dianggap tidak tahu diri. Kritik dilemahkan melalui pendekatan paternalistik: “sabar dulu, proses sedang berjalan,” atau “jangan ganggu, ini untuk kemajuan daerah.” Padahal jelas, yang sedang dibangun bukan kemajuan rakyat, melainkan benteng kepentingan.

Selimut politik ini harus disingkap. Demokrasi lokal bukan sekadar rutinitas elektoral lima tahunan, tapi harus menjadi ruang hidup bagi aspirasi rakyat yang sejati. Halmahera Timur membutuhkan pemimpin yang tidak hanya pandai meredam keresahan, tapi berani membuat perubahan—meski harus melawan arus.

Karena pada akhirnya, rakyat tidak membutuhkan penenang. Mereka membutuhkan keadilan. Dan keadilan tidak bisa lahir dari politik yang menjadikan kenyamanan elite sebagai tujuan utama.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *