Kopi Pagi: Hijrah dan Transformasi Sosial

OLEH :Mohtar Umasugi ( Akademisi STAI Babussalam Sula )

OPINI – Pagi ini, di antara wangi kopi hitam yang mengepul di beranda rumah, saya termenung sejenak pada kata “hijrah”. Kata yang dalam beberapa tahun terakhir makin akrab di telinga publik, tapi seringkali dibatasi hanya pada tafsir spiritual belaka. Padahal, hijrah tidak sekadar berpindah dari keburukan ke kebaikan secara individu, tetapi juga tentang keberanian untuk menata ulang kehidupan sosial dan menciptakan perubahan kolektif yang bermakna.

Bacaan Lainnya

Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah adalah tonggak sejarah yang tidak hanya mencerminkan kepatuhan spiritual, tapi juga strategi sosial-politik yang luar biasa. Ia mengubah wajah peradaban Arab — dari masyarakat tribal yang sering bertikai, menjadi komunitas madani yang menjunjung keadilan sosial, solidaritas, dan keteraturan sipil. Itulah transformasi sosial yang lahir dari ruh hijrah.

Pertanyaannya kini, apa makna hijrah dalam konteks sosial kita hari ini?

Hijrah sosial bukan hanya soal menanggalkan kebiasaan lama yang buruk, tetapi juga tentang menciptakan sistem dan ruang hidup yang lebih adil dan manusiawi. Ketika masyarakat mulai sadar untuk meninggalkan budaya korupsi, menolak kekerasan, membangun ekonomi berbasis etika, dan memperjuangkan pendidikan yang inklusif—itulah bentuk nyata hijrah sosial. Perubahan itu tidak hanya berhenti di mimbar ceramah, tapi menjelma menjadi gerakan sosial yang hidup di tengah masyarakat.

Saya sering merenung, di daerah seperti Kepulauan Sula ini, bagaimana kita menghidupkan semangat hijrah bukan hanya dalam wacana agama, tapi juga dalam pembangunan dan pelayanan publik? Apakah para pemimpin kita juga tengah melakukan hijrah: dari pola kepemimpinan transaksional menuju kepemimpinan transformatif? Dari birokrasi yang lamban menuju tata kelola yang responsif dan transparan?

Transformasi sosial tidak mungkin terjadi tanpa hijrah mental dan moral para aktor utamanya—kita semua. Sebab yang kita butuhkan bukan hanya pembangunan fisik, tetapi pembangunan nilai. Kita butuh hijrah dari “asal jadi” ke “terukur dan berkualitas”, dari “asal aman” ke “berani memperbaiki”. Termasuk di lingkungan terkecil: keluarga, RT, hingga lembaga pendidikan.

Hijrah juga berarti meninggalkan pesimisme. Kita perlu percaya bahwa masyarakat bisa berubah, bahwa institusi bisa dibersihkan, dan bahwa generasi muda bisa menjadi agen transformasi. Tapi tentu, semua itu tak akan datang hanya dari harapan dan doa. Ia perlu dipantik dari kesadaran, lalu ditumbuhkan lewat aksi kecil yang konsisten.

Akhirnya, kopi pagi ini menjadi saksi bahwa hijrah bukan sekadar memindahkan langkah kaki, tetapi menggerakkan hati, pikiran, dan sistem sosial secara bersamaan. Mungkin inilah saatnya kita semua berhijrah — bukan hanya dari gelap menuju terang, tapi dari stagnasi menuju peradaban.

_Mari bersama kita hijrah_
Fagudu, 1 Muharram 1447 H

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *