BIDIKFAKTA – Di pojok rak buku tua, terselip sebuah lembaran kertas lusuh. Warnanya telah menguning, pinggirannya sobek dan aroma debunya khas bau sejarah. Judul besarnya sudah pudar, namun masih terbaca. “Mahasiswa Duduki Gedung DPR” terbitan tahun 1998. Sebuah lembar koran lama yang tak sekadar arsip, tapi pengingat keras bahwa zaman boleh berganti, tapi perjuangan tetap sama.
Koran bukan sekadar berita. Ia adalah cermin masyarakat pada zamannya. Setiap paragraf mencatat kegelisahan. Setiap kolom opini adalah suara yang nyaring tanpa perlu pengeras. Dalam lembar koran lama itu, terpotret wajah Indonesia dalam satu momen genting. Aksi mahasiswa, krisis ekonomi, runtuhnya rezim, dan lahirnya demokrasi. Semua tertulis di sana, dengan tinta yang kini mulai luntur, tapi maknanya tetap tajam.
Koran adalah penulis diam. Ia tidak bersorak, tidak berteriak, tapi menyampaikan. Ia menulis dengan hati-hati, namun dalam. Maka tak heran, lembar koran lama bisa membangkitkan rasa lebih kuat dari seribu cuitan hari ini. Karena yang ia sampaikan bukan hanya apa yang terjadi, tetapi juga mengapa itu penting.
Membaca kembali lembar koran lama ibarat membuka kapsul waktu. Kita disuguhi fakta, bukan versi yang sudah disunting algoritma media sosial. Koran lama menampilkan keberanian jurnalistik yang hari ini semakin langka. Saat banyak media hari ini sibuk mengejar klik, koran zaman itu mengejar kebenaran.
Lihat saja tajuk utama edisi reformasi. “Rakyat Turun, Kekuasaan Goyang”. Bukan bahasa indah, tapi bahasa jujur. Wartawan kala itu berdiri di antara massa, mencatat bukan hanya kata-kata, tapi detak hati publik. Dan kini, puluhan tahun kemudian, koran itu menjadi bukti bahwa sejarah pernah bergetar hebat di negeri ini.
Tak hanya politik. Lembar koran itu juga merekam budaya, ekonomi, bahkan mimpi-mimpi yang dulu sempat tumbuh. Iklan harga sembako, lagu-lagu lawas, hingga kolom pembaca yang menulis kisah hidup bangsa ini. Semuanya membentuk lanskap sosial yang utuh, tidak tergesa dan tidak dibuat-buat.
Sayangnya, di tengah arus digitalisasi hari ini, nilai-nilai itu perlahan memudar. Anak muda mungkin lebih akrab dengan feed Instagram dari pada halaman depan kompas informasi dunia. Padahal, di lembaran itulah sejarah paling jujur ditulis.
Lembar koran lama, bukan sekadar benda antik. Ia adalah warisan sama seperti lukisan tua di museum, ia memuat emosi kolektif yang tak boleh dilupakan. Sebab bangsa yang melupakan masa lalu, akan mudah dikendalikan oleh masa depan yang kosong.
Jurnalisme cetak hari ini memang menantang. Banyak koran berhenti terbit. Percetakan tutup. Wartawan beralih ke digital. Tapi yang tak boleh mati adalah semangatnya. Keberanian mengabarkan, tanpa takut tekanan. Karena koran bukan hanya soal tinta dan kertas, tetapi soal kejujuran yang harus dicetak dengan hati bukan janji alas waktu.
Lembar koran lama itu kini kembali dilipat rapi. Disimpan bukan sebagai sampah, tetapi sebagai pusaka, di dalamnya ada berita, ada sejarah dan ada nurani.
Kita mungkin tak bisa melawan laju zaman. Tapi kita bisa memilih untuk tetap menyimpan, membaca, dan menghargai lembar-lembar koran lama itu. Karena dari situlah, bangsa ini pernah belajar tentang makna perlawanan dan harga kejujuran.
Penulis: Ahkam Kurniawan Buamona, Mahasiswa STAI Babusalam Sula.