OLEH : Alfareja Sangaji, Sekretaris DPC GMNI Kepulauan Sula
OPINI –Pulau Mangoli, yang secara administratif merupakan bagian dari Kabupaten Kepulauan Sula, Provinsi Maluku Utara, memiliki luas wilayah sekitar 2.142 km² (setara dengan 214.200 hektar) dan terdiri dari 37 desa yang tersebar di enam kecamatan. Berdasarkan amanat Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, Pulau Mangoli dikategorikan sebagai pulau kecil. Undang-undang ini secara eksplisit melarang segala bentuk aktivitas pertambangan di pulau kecil karena potensi kerusakan ekologis yang tinggi dan ketidakmampuan ekosistem kecil dalam menyerap dampak industri ekstraktif.
Pulau-pulau kecil seperti Mangoli memiliki sistem ekologis yang rapuh dan sangat bergantung pada kelestarian tutupan hutan, daerah aliran sungai (DAS), dan garis pantai. Aktivitas eksploitasi sumber daya alam berskala besar, seperti pertambangan bijih besi, terbukti memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap kualitas lingkungan hidup di wilayah ini. Hal ini terlihat dari beberapa preseden buruk yang telah terjadi, seperti banjir yang melanda sejumlah desa akibat degradasi kawasan hulu dan hutan lindung.
Banjir yang terjadi di Desa Urifola, Kecamatan Mangoli Tengah pada tahun 2012 menjadi salah satu bukti awal dampak kerusakan lingkungan akibat deforestasi. Kerusakan ini semakin nyata pasca beroperasinya PT. Mitra Jaya Sejahtera, perusahaan pemegang izin usaha pengelolaan hutan (2007), yang menyebabkan banjir bandang menghantam Desa Capalulu—desa yang bertetangga dengan Desa Wai U. Hal yang sama juga terjadi pada Juli 2020, banjir kembali melanda Desa Waitina, Kecamatan Mangoli Timur, merendam 122 rumah dengan ketinggian air mencapai satu meter. Banjir juga meluas ke Desa Buya, Naflo, dan Mangoli, yang memaksa ratusan kepala keluarga untuk mengungsi. Peristiwa serupa kembali terulang pada Agustus 2021 di tiga desa, yaitu Mangoli, Urifola, dan Wai U.
Dari sisi regulasi, kondisi ini ironis jika dikaitkan dengan kebijakan Pemerintah Provinsi Maluku Utara yang telah mengeluarkan 10 Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk eksplorasi dan eksploitasi bijih besi di Pulau Mangoli sejak tahun 2018. Berdasarkan data dari Minerba One Map Indonesia (MOMI) milik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), total luas konsesi dari 10 IUP tersebut mencapai 84.939,85 hektar atau sekitar 39,65% dari total luas Pulau Mangoli. Empat di antaranya telah siap beroperasi, yaitu PT. Aneka Mineral Utama, PT. Wira Bahana Perkasa, PT. Wira Bahana Kilau Mandiri, dan PT. Indotama Mineral Indonesia, dengan konsesi yang tersebar di berbagai kecamatan dan desa yang sebelumnya telah terdampak bencana ekologis.
Dari perspektif ekologi dan keadilan lingkungan, keberadaan industri pertambangan di Pulau Mangoli bukan hanya melanggar asas keberlanjutan, tetapi juga mengancam hak dasar masyarakat untuk hidup dalam lingkungan yang sehat dan aman. Apalagi, sebagian besar masyarakat Pulau Mangoli menggantungkan hidup pada hasil pertanian, kehutanan tradisional, dan perikanan, yang semuanya sangat bergantung pada ekosistem yang lestari.
Penolakan terhadap tambang bukan hanya merupakan ekspresi kepedulian terhadap lingkungan, tetapi juga perlawanan terhadap sistem ekonomi yang meminggirkan masyarakat lokal demi kepentingan akumulasi kapital. Dalam konteks ini, nilai-nilai Pancasila, khususnya sila kelima “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” menjadi relevan sebagai dasar untuk menolak kebijakan yang lebih menguntungkan pemodal daripada kesejahteraan masyarakat.
Dengan demikian, pemerintah daerah maupun pusat perlu mengevaluasi kembali kebijakan pemberian IUP di Pulau Mangoli. Moratorium atau pencabutan izin harus menjadi langkah awal menuju tata kelola lingkungan yang lebih berkelanjutan dan berkeadilan. Selain itu, perlu dilakukan audit lingkungan secara menyeluruh serta pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait pembangunan yang berdampak langsung pada ruang hidup mereka. Jika hal ini tidak di lakukan maka kemungkinan pertumpahan darah akan terjadi. Waulahuwalam bissawab