CERPEN : Nyala di Batas Malam

Penulis : M.Eko Duhumona_Pegiat Pilas Istitute

Malam itu, kafe kecil tersebut bukan hanya sekadar lokasi untuk berkumpul. Tempat ini berubah menjadi arena pertarungan pikiran dan perasaan, di mana dua jiwa menatap satu sama lain dengan semangat yang sama, meski berasal dari nyala yang berbeda. Di bawah cahaya redup yang bergoyang akibat asap rokok dan bunyi mesin kopi, kami duduk berhadapan, dua pejuang yang menolak untuk menyerah pada ketidakadilan, meskipun jalan yang kami pilih berbeda.

Dia adalah seorang wanita yang memiliki tatapan penuh api, membara meski dalam keheningan. Seorang sosok yang menolak setiap bentuk kekerasan, namun tak bosan menghadapi tirani yang mengikat jiwa dan fisik banyak orang. Setiap kata darinya penuh semangat, lahir dari luka-luka lama yang belum sembuh, hasil dari pengalaman pahit yang merenggut harapan.

Bacaan Lainnya

Aku datang dengan api doa dan keyakinan yang kupegang erat, melangkah di jalur yang berbeda namun menuju tujuan yang serupa: melawan segala jenis penindasan dan ketidakadilan. Aku sadar, merajut cinta di antara dua dunia yang terpisah, di tengah semangat yang saling bertentangan, bukanlah hal yang mudah, tetapi aku memilih untuk berjuang, bukan menyerah.

“Kita sama-sama menolak dunia yang hening dan tak bersuara,” katanya dengan suara yang pecah dalam kegelapan malam, “tapi aku tidak bisa mengabaikan luka yang dulu membuatku ragu untuk membuka hatiku. ”

Aku memandangnya, suara dalam diriku bergetar, “Aku tidak ingin memaksa hatimu, bukan untuk meruntuhkan tembok yang kau bangun. Namun, aku ingin menjadi penghubung, bukan jurang pemisah.”

Namun, ucapan-ucapan itu masih belum cukup untuk merobohkan tembok yang ia ciptakan dari pengalaman dan ketakutannya. Setiap kali aku mendekat, dia justru menjauh, menjaga jarak yang bukan hanya berkenaan dengan ideologi, melainkan juga terkait luka yang belum sembuh, yang sulit disembuhkan oleh janji atau kata-kata manis.

Aku berdiri di akhir malam itu, merasakan berat langkah yang harus kuambil. Aku tahu bahwa kadang-kadang mencintai berarti melepaskan, memberikan ruang bagi seseorang untuk bernafas dan menyembuhkan dirinya sendiri.

Aku meninggalkan kafe itu dengan hati bergetar, tanpa sepatah kata pun. Dia tidak memanggilku, tidak menyapa, seakan membiarkan aku lenyap dalam gelap malam yang menyelimuti.

Namun di balik keheningan itu, pikirannya mulai berubah. Keraguan mengintai, menyusup ke dalam pikiran yang selama ini kuat dan tegar. Aku tahu, perubahan tidak selalu terjadi dalam pertemuan, tetapi juga di saat kesendirian, ketika hati mulai bertanya dan membuka rahasia yang telah lama terkunci.

Malam-malam berikutnya, bayanganku terus mengikutinya, bukan sebagai hantu menakutkan, tetapi sebagai cahaya kecil yang menggoda untuk diterima.

Aku terus melangkah, menapaki jalan yang dipenuhi dengan duri dan api, membawa harapan dan doa sebagai perisai. Aku sadar, perjuangan bukan hanya menghadapi dunia yang hina, tetapi juga melawan diri sendiri untuk tetap tegar dan membuka ruang bagi cinta yang tak sempurna.

Di tengah perbedaan yang tajam dan luka yang dalam, aku yakin bahwa cinta adalah bentuk perlawanan yang paling agung. Perlawanan terhadap penyerahan, keraguan, dan keputusasaan yang seringkali lebih berat daripada apa pun.

Di batas malam yang sunyi, aku dan dia berdiri di persimpangan jalan, bukan untuk berpisah, melainkan untuk belajar melangkah bersama, meskipun langkah kami tak selalu selaras.

Malam itu bukanlah titik akhir, melainkan nyala yang terus berkobar, menyala dalam kesunyian, menantikan waktu yang tepat untuk menggabungkan dua bara menjadi satu api yang abadi.

Di persimpangan langkah dan keraguan, hadir secercah harapan yang mulai bersinar lebih terang. Pikiran yang dahulu dipenuhi keraguan kini mulai mencabut tirai yang telah tertutup rapat. Luka masa lalu yang mengikat hatinya pelan-pelan mulai mereda, memberikan kesempatan bagi keyakinan yang baru.

Aku mengerti, perjuangan bukan hanya tentang melawan dunia luar, tetapi juga melawan bayang-bayang diri sendiri yang kadang enggan untuk terbuka.

Ketika akhirnya dia berkata, “Aku siap. . . tidak hanya untuk menghadapi dunia, tetapi juga untuk berjalan bersamamu,” aku menyadari, alam semesta pun seakan bergetar dalam irama yang sama.

Kami berdiri berdampingan, bukan sekadar dua pejuang, tetapi sebagai satu nyala yang berapi-api. Berbeda jenis bara, tetapi memiliki satu nyala yang sama. Melawan ketidakadilan, menantang kegelapan dengan semangat yang membara.

Cinta kami bukan hanya sekadar ungkapan manis di tengah kegelapan, melainkan api yang tak pernah padam dalam hati yang berani berjuang.

Di bawah langit malam yang luas, kami melangkah bersama, merajut harapan dari bara-bara yang dahulu memisahkan, menjadi satu nyala yang akan terus menyala, hingga akhir waktu.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *